Satu lagi tulisan dari Ayah Edy yang bisa jadi bahan renungan orang tua, dan ternyata sejalan dengan yang saya percaya selama ini. Sering saya mempunyai pemikiran, tapi tidak bisa secara gamblang saya ungkapkan apa dan kenapanya. Tulisan Ayah Edy sering kali membukakan mata saya, dan membuat saya berteriak "aha!".
Kali ini masalah perlukah anak bersaing dan berkompetisi menjadi pemenang?
Mau sedikit cerita. Rei sampai sekarang belum punya piala apapun, dan belum pernah memenangkan lomba apapun. Selain memang di sekolah maupun lingkungannya tidak pernah mengadakan lomba apapun, kami juga tidak mengejar dan mencari-cari untuk mengikutkan Rei dalam lomba-lomba.
Saya pribadi percaya, jaman sekarang lebih penting orang untuk berkolaborasi daripada mengalahkan satu sama lain. Karena itu dari mulai memilih sekolah, saya mau sekolah yang tidak lagi menerapkan sistem ranking di kelas. Saya tidak mau anak mempunyai persepsi bahwa hidup adalah tentang berusaha menjadi pemenang dan harus mengalahkan orang lain.
Mau bukti bahwa sistem ranking di sekolah punya dampak buruk? Tidak usah jauh-jauh, lihat saja kondisi lalu lintas di jalan sehari-hari. Lebih banyak orang yang tidak mau mengalah satu sama lain, cenderung gengsi untuk memberi jalan, dan seolah-olah menjadikan jalanan ajang balapan. Belum lagi masalah mengantri, orang Indonesia dikenal paling susah antri. Ini karena sejak kecil di sekolah kita selalu ditanamkan untuk selalu berusaha menjadi juara, menjadi nomor satu, atau minimal di atas yang lainnya. Anak yang punya ranking atas dan nilainya lebih tinggi lah yang dianggap lebih pintar. Secara tidak sadar, nilai-nilai tersebut terbawa dalam keseharian kita. Akibatnya dalam segala hal kita cenderung selalu ingin jadi yang lebih atas, lebih dulu, lebih cepat dibanding orang lain. Namun sayangnya kerap tersalurkan secara negatif. Padahal manusia punya potensinya masing-masing yang berbeda.
Saya pernah membaca, ada satu sekolah Islam bertaraf internasional yang sangat anti dengan kompetisi dan lomba untuk anak-anak sampai tingkat SD. Tapi saya juga melihat ada sekolah lain yang justru selalu sibuk mengadakan lomba ini itu bahkan dari sejak tingkat PAUD atau TK, dan saya tidak melihat manfaat yang bisa didapat oleh si anak itu sendiri (tentu sekolah seperti ini langsung saya coret dari daftar). Saya lebih setuju dengan sekolah yang pertama.
Mau sedikit cerita. Rei sampai sekarang belum punya piala apapun, dan belum pernah memenangkan lomba apapun. Selain memang di sekolah maupun lingkungannya tidak pernah mengadakan lomba apapun, kami juga tidak mengejar dan mencari-cari untuk mengikutkan Rei dalam lomba-lomba.
Saya pribadi percaya, jaman sekarang lebih penting orang untuk berkolaborasi daripada mengalahkan satu sama lain. Karena itu dari mulai memilih sekolah, saya mau sekolah yang tidak lagi menerapkan sistem ranking di kelas. Saya tidak mau anak mempunyai persepsi bahwa hidup adalah tentang berusaha menjadi pemenang dan harus mengalahkan orang lain.
Mau bukti bahwa sistem ranking di sekolah punya dampak buruk? Tidak usah jauh-jauh, lihat saja kondisi lalu lintas di jalan sehari-hari. Lebih banyak orang yang tidak mau mengalah satu sama lain, cenderung gengsi untuk memberi jalan, dan seolah-olah menjadikan jalanan ajang balapan. Belum lagi masalah mengantri, orang Indonesia dikenal paling susah antri. Ini karena sejak kecil di sekolah kita selalu ditanamkan untuk selalu berusaha menjadi juara, menjadi nomor satu, atau minimal di atas yang lainnya. Anak yang punya ranking atas dan nilainya lebih tinggi lah yang dianggap lebih pintar. Secara tidak sadar, nilai-nilai tersebut terbawa dalam keseharian kita. Akibatnya dalam segala hal kita cenderung selalu ingin jadi yang lebih atas, lebih dulu, lebih cepat dibanding orang lain. Namun sayangnya kerap tersalurkan secara negatif. Padahal manusia punya potensinya masing-masing yang berbeda.
Saya pernah membaca, ada satu sekolah Islam bertaraf internasional yang sangat anti dengan kompetisi dan lomba untuk anak-anak sampai tingkat SD. Tapi saya juga melihat ada sekolah lain yang justru selalu sibuk mengadakan lomba ini itu bahkan dari sejak tingkat PAUD atau TK, dan saya tidak melihat manfaat yang bisa didapat oleh si anak itu sendiri (tentu sekolah seperti ini langsung saya coret dari daftar). Saya lebih setuju dengan sekolah yang pertama.
Manusia tidak harus selalu menjadi nomor satu. Tuhan melahirkan tiap manusia dengan purpose-nya masing-masing. Lebih penting untuk menemukan purpose tersebut dan menjalankannya dengan sebaik-baiknya.
Saya lebih senang kalau anak-anak saya kelak bisa menjadi manusia yang berguna bagi orang banyak, ketimbang hanya sibuk untuk menjadi nomor satu (yang berarti harus mengalahkan orang lain). Bahkan saya punya mimpi anak saya kelak bisa menjadi entrepreneur (pengusaha) yang berhasil sehingga bisa memberi pekerjaan dan berarti membuka pintu rejeki bagi banyak orang. (Ada yang bilang jangan takut untuk bermimpi, karena semua dimulai dari mimpi). Aamiiin.
Saya lebih senang kalau anak-anak saya kelak bisa menjadi manusia yang berguna bagi orang banyak, ketimbang hanya sibuk untuk menjadi nomor satu (yang berarti harus mengalahkan orang lain). Bahkan saya punya mimpi anak saya kelak bisa menjadi entrepreneur (pengusaha) yang berhasil sehingga bisa memberi pekerjaan dan berarti membuka pintu rejeki bagi banyak orang. (Ada yang bilang jangan takut untuk bermimpi, karena semua dimulai dari mimpi). Aamiiin.
Berikut ini tulisan dari Ayah Edy seperti yang saya kutip dari FB dan web-nya:
BANYAK ORANG TUA PERCAYA DENGAN MENDORONG ANAKNYA UNTUK BERSAING DAN BERKOMPETISI AKAN MEMBUAT HIDUP ANAKNYA KELAK AKAN MENJADI LEBIH BAIK ?
Namun menurut Einstein, potret dunia saat ini malah menunjukkan sebaliknya, KARENA PERSAINGANLAH MAKA JURANG PERBEDAAN MISKIN DAN KAYA SEMAKIN LEBAR DAN PARAH.
Sadarilah bahwa selama setiap orang masih meyakininya maka POTRET DUNIA AKAN TERUS SEPERTI INI.
Siapa pernah membaca kisah seorang yang TIDAK SUKA BERSAING dalam hidupnya ?
HIDUP INI BUKANLAH SEBUAH PERLOMBAAN DAN PERSAINGAN YANG KUAT MENGALAHKAN YANG LEMAH
HIDUP INI BUKANLAH PERSAINGAN UNTUK MENJADI YANG TERBAIK, MELAINKAN PERSAINGAN UNTUK MENJADI YANG PALING BERGUNA BAGI ORANG LAIN.
Dr. Arun suatu ketika memetik sebuah kisah tentang contoh konkret Bijaksana dari sebuah buku yg ditulis oleh James Bender berjudul “How to Talk Well” (New York;McGray-Hill Book Company,Inc., 1994)
Sebagai penjelasan lanjutan kepada mahasiswanya mengenai pemahamannya tentang bijaksana dan pintar.
Nah Apakah keluarga Indonesia masih ingat quotenya Dr Arun...?
Berikut petikannya;
Banyak orang tua, pendidik dan guru lebih suka dan bahagia jika murid2nya Pintar. Saya lebih suka dan bahagia jika murid2 saya menjadi lebih BIJAKSANA.
Mengapa? Karena orang yg Bijaksana sudah tentu pintar tapi orang yg pintar belum tentu bijaksana.
Lalu apa bedanya ?
Pintar adalah mengarahkan cara berpikir untuk bisa mengambil ke
untungan dari orang lain sedangkan Bijaksana adalah mengarahkan cara berpikir untuk bisa membuat semua orang beruntung.
untungan dari orang lain sedangkan Bijaksana adalah mengarahkan cara berpikir untuk bisa membuat semua orang beruntung.
–Dr. Arun Gandhi-
Pendidik dengan hati
Pendidik dengan hati
Berikut kira-kiara petikan terjemahan kisah seorang pengusaha jagung yg bijaksana;
Di sebuah pedesaan, tempat di mana tanah yang sangat subur dapat menumbuhkan tunas-tunas jagung, ada seorang petani yang berhasil memenangkan kontes pertanian selama bertahun-tahun. Hal ini menarik perhatian seorang wartawan, karena di desa itu ada puluhan petani yang juga memiliki kebun jagung.
Untuk mengungkap rahasia kemenangan selama bertahun-tahun itu, sang wartawan mengunjungi sang petani untuk wawancara singkat.
“Apakah Anda memiliki rahasia khusus untuk memenangkan kontes hasil panen jagung terbaik setiap tahun?” tanya sang wartawan.
Petani yang tampak bersahaja itu tersenyum lalu menjawab, “Saya tidak punya rahasia khusus, karena bibit jagung milik saya yang memenangkan kontes, pada akhirnya selalu saya bagi-bagikan pada petani lain, karena itu adalah bibit jagung terbaik.”
Sang wartawan tampak bingung, berarti semua petani memiliki bibit jagung yang sama-sama baik. “Mengapa Anda membagikan bibit jagung terbaik? Bukankah semua petani di desa ini mengikuti kontes yang sama, Anda tak takut kalah?”
Sang petani terkekeh pelan, “Aku sama sekali tidak memikirkan menang ataupun kalah, anak muda. Kau harus tahu bahwa angin dapat menerbangkan serbuk sari bunga-bunga jagung dan terbang dari satu ladang ke ladang yang lain. Bila ada serbuk sari tanaman jagung dengan bibit yang buruk terbang ke ladang jagungku, itu akan menurunkan kualitas jagung saya dan juga seluruh hasil jagung penduduk desa ini. Saya ingin mendapat hasil jagung terbaik, karena itulah saya menolong tetangga saya untuk mendapat bibit jagung yang baik pula.”
Itulah gambaran seorang petani jagung yang bijak yg tidak berusaha untuk mencari keuntungan semata dari orang lain dan lingkungan sekitarnya, tapi mencari keuntungan dengan cara membuat orang2 di sekitarnya juga beruntung.
Semoga menjadi inspirasi dan pencerahan bagi kita dalam mengarungi kehidupan ini.
Komentar
Posting Komentar