Langsung ke konten utama

Cerita Setelah 4 Bulan Sekolah di Preschool HS

Tahun lalu kami sempat sangat sedih ketika mengetahui anak pertama kami, Rei (saat ini 4 tahun), ditolak masuk di sekolahnya yang sekarang. Tapi sepertinya memang Allah sudah punya rencana lain. Banyak hikmah positif yang bisa diambil dari peristiwa itu.

Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, sampai berusaha membuat bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat ahli terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya.

Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memberikan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah membuat keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melakukan banyak “trial and error” lagi.

Sejak Rei pindah dari sekolah lamanya ke sekolahnya yang sekarang, saya melihat banyak sekali kemajuan, baik dari sisi kognitif maupun karakternya. Bisa dibilang kemajuan yang dicapainya dalam waktu 2 bulan sekolah di situ, lebih banyak dari kemajuan yang dicapainya dalam waktu 1 tahun bersekolah di sekolah lamanya. Ternyata metode dan kurikulum sangatlah berpengaruh.

Sekolah lamanya memang tidak menekankan pengajaran calistung dan tidak memberi banyak hapalan (karena itu saya mengijinkan Rei sekolah di situ). Tapi sayangnya metode pengajarannya masih cenderung bersifat konvensional dan satu arah.

Penelitian mengatakan bahwa metode sekolah yang paling baik untuk anak usia dini adalah yang mengedepankan eksplorasi dan pengalaman nyata anak berinteraksi dengan benda-benda maupun orang-orang (guru dan teman) secara langsung, serta mengedepankan inisiatif anak (active learning). Metode pengajaran formal seperti di kelas justru akan memperlambat perkembangan otaknya.

“Learning progress may actually be slowed by overly academic preschool experiences that introduce formalized learning experiences too early for a child’s developmental status.”
—Rebecca Marcon, Developmental Psychologist 

Pantas saja tidak banyak kemajuan yang saya lihat ketika dia masih bersekolah di sekolah lamanya. Salah satu kemajuan yang saya catat hanyalah dia menjadi lebih berani ketika berada di tempat umum, dalam arti tidak takut lagi ketika harus berpisah dengan orang tuanya (masih ingat ketika dia nonton pertunjukan Thomas & Friends di mal dan maju ke panggung sendirian). Dia juga sedikit menjadi lebih mudah “diatur” dan mau menurut. Tapi kemampuan komunikasi dan interaksinya dengan teman sebayanya dan orang lain masih sangatlah kurang. Saya lihat teman-temannya di kelas juga seperti itu, masih cenderung sendiri-sendiri dan kurang berinteraksi satu sama lain. Dari segi perkembangan kognitif juga sepertinya tidak terlalu banyak yang bisa diceritakan.

Yang sedikit mengkhawatirkan adalah, bulan-bulan terakhir dia bersekolah di situ, dia sering sekali bilang “tidak mau sekolah” ketika bangun pagi-pagi. Dan gurunya mengabarkan bahwa dia sering sekali bengong di kelasnya. Perkiraan saya adalah, Rei sebenarnya merasa tidak cocok bersekolah di situ. Rei adalah tipe anak kinestetis yang tidak bisa diam, karena dia butuh menggerakkan tubuhnya untuk belajar. Sayangnya sekolah dengan metode konvensional cenderung menginginkan anak selalu duduk tertib dan tenang di kursinya, mendengarkan atau mengikuti arahan guru. Tidak ada atau sedikit kesempatan bagi Rei untuk bisa bergerak bebas dan bereksplorasi secara aktif. Mungkin ketika dia bengong, sebetulnya dia sedang mengkhayal melakukan hal lain yang lebih mengasyikkan. Sayangnya, guru-guru di sana sepertinya tidak bisa melihat hal itu, dan malah menyangka dia sering bengong sejak dia punya adik. Padahal di rumah kami tetap mencurahkan perhatian sangat besar ke Rei, dan dia tetap ceria seperti biasa.

Perkiraan saya terjawab setelah Rei pindah sekolah. Di sekolah barunya, kebiasaan bengong di kelas tidak tampak lagi. Dengan metode active learning, Rei jadi punya banyak kesempatan untuk bergerak dan bereksplorasi secara aktif, dan dia terlihat jauh lebih senang. Secara bersamaan, kemampuan kognitif dan karakternya juga banyak mengalami perkembangan. Bahkan sudah terlihat ketika baru beberapa minggu saja sekolah di sana.

Perkembangan-perkembangan yang saya catat:

1. Dalam hal kognitif, minggu-minggu pertama Rei sekolah, dia sudah bisa menghitung benda atau gambar secara runut dan benar (dalam range 1-10), padahal sebelumnya masih sering salah, entah kurang atau kelebihan. Sambil bermain, saya sering tes dia menghitung di rumah, dan jawabannya sekarang selalu benar. Dan sekarang saya lihat dia sudah hapal simbol-simbol angkanya juga dari 1 s/d 10. Di sekolahnya, belajar menghitung memang dimulai dari menghitung benda-benda secara riil dulu, baru belajar simbol angkanya. Dengan demikian anak tidak hanya menghapal tapi juga benar-benar mengerti secara konsep.

2. Dalam hal bersosialisasi, sekarang Rei sudah lebih berani dan punya keinginan untuk bermain dengan anak-anak sebayanya. Dia juga tidak takut lagi jika diajak ke tempat baru dan bertemu orang baru seperti sebelumnya. Kepercayaan dirinya terlihat sekali ada peningkatan. Dia tidak malu-malu dan takut lagi ketika harus bermain di lingkungan baru di mana banyak anak yang belum dia kenal. Pernah ketika mengunjungi suatu acara reuni, dia sudah langsung bisa akrab dengan anak kecil lain yang ada. Dengan orang dewasa pun dia sekarang lebih komunikatif. Pernah dia kami tinggal hanya bersama pakde dan budenya, dan dia bisa betah bercanda-canda dengan pakde budenya cukup lama, tanpa mainan yang banyak dan tanpa gadget. Kelihatannya ini berkat di sekolahnya anak selalu distimulasi untuk berinteraksi dengan teman-teman maupun gurunya. Daily routine di kelas selalu melibatkan bermain dan berkomunikasi dengan guru maupun teman-teman di kelas lewat metode plan-do-review.

3. Saya senang sekali sekarang Rei sudah bisa lebih fokus jika diajak membaca buku. Sebelumnya, paling dia hanya bertahan 10 menit jika dibacakan buku. Sekarang saya lihat dia sudah mau lebih konsen melihat dan mendengarkan, bahkan pernah membaca 1 majalah bersama saya sampai habis. Di sekolah memang ada reading session setiap hari di kelas. Meskipun sekolah belum mengajarkan membaca secara formal, bukan berarti sekolah tidak memperkenalkan membaca sama sekali. Justru sekolah berusaha secara intensif memperkenalkan kegiatan membaca demi menstimulasi ketertarikan anak terhadap buku. Dengan demikian minat anak untuk membaca akan tumbuh sebelum nantinya mereka benar-benar siap untuk belajar membaca. Saya senang sekali hal itu sudah mulai terlihat. Rei juga saya lihat sudah mulai mengenal beberapa huruf. Di sekolah ini memang tidak ada paksaan anak harus segera bisa membaca, tapi selalu disesuaikan dengan tahap perkembangan dan kesiapan si anak. Saya sendiri percaya membaca dan menulis bukanlah milestone maupun kebutuhan anak usia dini.

4. Senangnya, sekolah juga mengajarkan life skills. Tahu-tahu Rei sudah bisa mengancing bajunya sendiri dan bisa memakai bajunya sendiri. Padahal di rumah kami tidak pernah mengajarkannya. Dalam hal kemampuan makan sendiri, Rei juga sudah mulai terlihat ada kemajuan menggunakan sendok. Dalam hal beres-beres mainan, Rei juga sudah mulai ada kesadaran dan sudah mengerti bagaimana cara membereskan mainan. Sayangnya memang hal-hal di atas masih belum bisa konsisten diterapkan di rumah. Sebetulnya bukan karena anaknya belum bisa, tapi mungkin karena orang-orang di rumah masih belum bisa menaruh “kepercayaan” ke Rei dalam hal memakai baju dan makan sendiri. Untuk beres-beres mainan, masih harus sering diingatkan, meskipun sebetulnya dia sudah bisa melakukannya sendiri. Ini masih menjadi tantangan untuk kami.

5. Dalam hal bermain sendiri, sekarang Rei lebih tidak gampang menyerah, dan mau untuk berusaha dan mencoba-coba sendiri. Sebelumnya, dia gampang sekali merengek dan putus asa kalau dia menghadapi kesulitan dalam menggunakan mainannya. Di sekolah memang anak selalu di-encourage untuk berusaha melakukan dan memecahkan masalah yang dihadapinya sendiri, tidak serta merta langsung dibantu oleh gurunya.

6. Ini juga penting, sekarang Rei sudah mulai mau mencoba makanan baru. Rei adalah anak yang picky-eater dan sangat susah diajak mencoba makanan yang dia belum kenal. Untungnya, sekolah menyediakan makanan setiap hari dengan menu yang bervariasi dan selalu berganti-ganti. Di sekolah sebelumnya, makanan harus dibawa sendiri dari rumah, akibatnya makanan yang dibawa selalu itu-itu saja. Jadi adanya makanan dari sekolah seperti sekarang sangat membantu juga perkembangan Rei. Dia juga mulai suka beberapa makanan baru karena melihat teman-temannya makan makanan yang sama.

7. Dalam hal berbahasa Inggris, perkembangan Rei cukup signifikan. Sebelum sekolah di HS kami sama sekali tidak pernah mengajak Rei berkomunikasi dalam bahasa Inggris, kecuali menghapalkan nama-nama binatang. Tapi baru seminggu sekolah, Rei sudah bisa saya ajak berkomunikasi dalam bahasa Inggris, meskipun masih kalimat-kalimat yang sangat sederhana. Minimal dia sudah bisa merespon dan menjawab, dan dia sudah tahu bahwa “I” adalah kata ganti orang pertama. Dia juga mulai sering mengeluarkan kalimat dalam bahasa Inggris, seperti “I want to go to pee in the toilet”, “Yes, I want”, “I don’t like it”, “I like it”, "I want to play another one", dsb. Bahasa Inggris saya anggap sebagai bonus, karena ini bukan tujuan utama saya menyekolahkan dia di sini, apalagi sekedar untuk gaya-gayaan. Alasan saya memilih sekolah ini adalah karena metode dan kurikulumnya secara keseluruhan. Tapi diterapkannya bahasa Inggris akan memberi keuntungan yang disebut bilingual advantage, karena otak anak berkembang lebih baik ketika dia dibesarkan dalam lingkungan multi-lingual.

Yang saya suka adalah, sekolah ini menerapkan metode multi-age class. Di dalam kelas ada anak yang umurnya setahun di bawah Rei (2,5-3 tahun) dan ada juga  yang sudah setahun di atas Rei (5 tahun). Anak-anak yang lebih tua tentu sudah lebih pintar, baik dalam hal berinteraksi maupun hal-hal lainnya, jadi sedikit banyak Rei terbawa oleh anak-anak yang lebih besar itu. Anak yang sudah lebih mampu akan membantu anak yang belum bisa. Sebaliknya, ke anak-anak yang lebih kecil, Rei juga bisa belajar bagaimana 'mengasuh' dan membantu mereka.

Masih ada perkembangan-perkembangan lain selain di atas. Terakhir, gurunya melaporkan bahwa Rei adalah anak yang paling kritis di kelas. Dia satu-satunya anak yang selalu tahu dan sadar kalau ada perubahan di kelasnya, seperti kalau ada benda baru, lokasi benda yang berpindah, atau lainnya, dan dia selalu menanyakannya ke gurunya. Juga jika ada perubahan daily routine di hari itu, dia adalah satu-satunya anak yang selalu bertanya kenapa. Dia banyak sekali mengajukan pertanyaan, yang kadang gurunya sendiri kehabisan jawaban. Kalau di sekolah konvensional, mungkin hal-hal 'kecil' seperti ini akan teredam. Alhamdulillah, di sekolah ini guru bisa memposisikan dirinya sebagai partner dan teman, sehingga anak-anak bisa merasa nyaman bercerita dan bertanya apa saja ke gurunya.

Gurunya juga menceritakan progres komunikasi Rei di kelas yang sudah semakin detil dan kompleks. Dia sudah bisa membuat planning secara detail dan menunjukkan hasilnya ke gurunya. Dalam bermain pun dia sudah bisa bermain dan bekerja sama dengan teman-teman sekelasnya, tidak lagi hanya bermain sendiri.

Pada saat penerimaan raport, kami bukan disodorkan dengan laporan nilai-nilai, apalagi ranking kelas, yang mungkin hanya akan membuat orang tua stress. Raportnya lebih berupa laporan progres-progres perkembangan Rei beserta foto-foto kegiatannya selama di sekolah sebagai evident. Progres perkembangan tersebut dilandaskan pada KDI (Key Developmental Indicators) yang merupakan framework kurikulum Highscope. Dalam pertemuan penerimaan raport, para guru dan orang tua berdiskusi panjang lebar mengenai progres perkembangan anak, dan apa yang perlu dilakukan untuk mensupport perkembangan selanjutnya. Hebatnya, guru bisa menjelaskan dengan detail mengenai kondisi dan perkembangan si anak di sekolah. Kemudian guru juga menanyakan bagaimana perkembangan anak di rumah, dan selalu mewanti-wanti agar orang tua memberikan support yang sesuai di rumah agar ada kesinambungan antara sekolah dan rumah. Sekolah ini sangat sadar akan pentingnya home and school collaboration. Diskusinya sangat membangun, dan tak terasa 45 menit sudah berlalu (slot waktu yang diberikan oleh sekolah).

Bukan berarti semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu awal, Rei sempat sedikit 'mogok' sekolah, karena beberapa kali dia sempat bilang tidak mau berangkat sekolah. Saya lihat saat itu Rei sedang mengalami masa peralihan. Sekolah yang lama memang hanya 3x seminggu dan hanya 2 jam sekali pertemuan. Sementara sekolah yang baru berlangsung cukup lama dari jam 8.30 s/d 12.00 setiap hari, 5 hari dalam seminggu.  Tapi Alhamdulillah, sekarang setelah dia sudah nyaman dan akrab dengan teman-temannya, sepertinya dia sudah menerima kegiatan sekolah sebagai rutinitas sehari-harinya.

Sebetulnya ada satu hal yang agak mengganjal, yaitu sekolah ini tidak mengajarkan agama untuk tingkat preschool. Padahal awalnya saya ingin sekali bisa memasukkannya ke sekolah yang bernuansa Islam. Sayangnya saya tidak menemukan sekolah Islam yang kurikulumnya sreg di hati saya yang lokasinya juga mudah dicapai.

Sekolah ini beranggapan bahwa agama adalah konsep yang masih terlalu abstrak bagi anak usia dini. Pelajaran agama baru akan diberikan di tingkat SD sesuai agama masing-masing. Karena itu, untuk sementara saya mengirim Rei belajar mengaji rutin di TPA terdekat di rumah. Insya Allah, belajar agama bukan hanya belajar menghafal, tapi juga menghayati akhlaknya. Mudah-mudahan itu semua bisa dimulai dari lingkungan keluarga juga. Kalau dipikir, sebetulnya ini sama saja dengan mengirimnya bersekolah di sekolah negeri yang muridnya beraneka ragam latar belakangnya. Justru memang sebaiknya kita tidak lepas tangan begitu saja menyerahkan pendidikan agama kepada sekolah dan merasa semua akan baik-baik saja. Pemikiran itu yang akhirnya membuat saya mantap mengirimnya sekolah di HS.

Yang pasti, saya senang sekali Rei bersekolah di situ. Meskipun keseharian sekolah penuh dengan bermain dan fun, tapi ternyata hasilnya justru lebih terlihat di diri anak. Ternyata memang benar, anak bisa lebih banyak belajar kalau dia enjoy dengan apa yang dia lakukan. Dan yang penting bisa memberikan perkembangan kognitif dan karakter yang nyata bagi anak untuk survive di hari ini dan di masa depan.  Ini memang sekolah yang menyenangkan bagi anak, juga menyenangkan bagi orang tua.

Seperti kata Ayah Edy (seorang pakar pendidikan anak), kita harus mencari "sekolah yang ramah anak dan ramah otak anak", karena otak anak tidak akan berkembang ketika anak merasa tertekan akibat diberi banyak materi pelajaran. Menurutnya, salah satu ciri sekolah yang baik adalah yang hasilnya dapat segera kita rasakan pada diri anak, tidak hanya dalam hal akademik, tapi terpenting lagi dalam  hal perilaku. Pastinya masih ada kekurangan, karena tidak ada sesuatu yang sempurna. Tapi kian hari kami merasa bahwa kami sudah membuat pilihan yang benar. Insya Allah bisa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Tangki Cinta Anak

Ini adalah tulisan yang saya rangkum dari Bab 1-2 buku "Hypnotherapy for Children" karya Adi W. Gunawan, seorang ahli hipnoterapi. Penjelasan teori dalam buku tersebut banyak membukakan mata saya mengenai apa yang sebenarnya menjadi "akar permasalahan" ketika perilaku anak kita bermasalah. Ini sangat membantu saya memahami anak dan bagaimana saya harus bersikap dan memperlakukan anak. Bagi saya ini bukan hanya sekedar teori. Tidak ada yang mengatakan menjadi orang tua itu gampang, tapi tidak ada yang mustahil untuk ditangani selama kita berpikir positif. Karena itu saya pribadi selalu membaca dan membekali diri saya dengan ilmu parenting sebanyak-banyaknya, sambil tidak lupa selalu melakukan introspeksi diri dan open-minded , yaitu berusaha tidak menyangkal jika ada masalah dan mengakui jika kita melakukan kesalahan. Jika orang tua selalu dalam posisi  denial , sesungguhnya anak juga lah yang akan jadi korban, dan itu akan menjadi bumerang bagi orang tuanya se

Proses Lebih Penting daripada Hasil (Kaitannya dengan Pola Asuh Anak)

Pola pikir yang lebih mementingkan HASIL ketimbang PROSES sepertinya memang sudah sangat mendarah daging di masyarakat kita. Dari hal kecil yang bisa kita temui sehari-hari, sampai hal besar, semua mencerminkan kalau ‘kita’ memang lebih senang langsung menikmati hasil, tapi enggan atau malas melewati prosesnya. Ini artinya lebih banyak orang yang tidak sabar, cenderung ambil jalan pintas, dan mau gampangnya saja, yang penting hasilnya tercapai. Hasil memang penting, tapi proses untuk mencapai hasil itu lebih penting lagi. Gak percaya? Tidak usah jauh-jauh. Untuk mendapat nilai A di sekolah, banyak cara yang bisa ditempuh. Lebih baik mana, si Ali yang belajar sungguh-sungguh, atau si Mawar yang mendapat nilai atas hasil mencontek? Dua-duanya sama mendapat nilai A. Tapi proses untuk mencapai nilai A itu yang membuat si Ali jauh lebih berkualitas dibanding si Mawar. Di dunia nyata pasti akan kelihatan ketika mereka harus mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki. Memang sudah