Langsung ke konten utama

Teori Tangki Cinta Anak


Ini adalah tulisan yang saya rangkum dari Bab 1-2 buku "Hypnotherapy for Children" karya Adi W. Gunawan, seorang ahli hipnoterapi. Penjelasan teori dalam buku tersebut banyak membukakan mata saya mengenai apa yang sebenarnya menjadi "akar permasalahan" ketika perilaku anak kita bermasalah. Ini sangat membantu saya memahami anak dan bagaimana saya harus bersikap dan memperlakukan anak. Bagi saya ini bukan hanya sekedar teori.

Tidak ada yang mengatakan menjadi orang tua itu gampang, tapi tidak ada yang mustahil untuk ditangani selama kita berpikir positif. Karena itu saya pribadi selalu membaca dan membekali diri saya dengan ilmu parenting sebanyak-banyaknya, sambil tidak lupa selalu melakukan introspeksi diri dan open-minded, yaitu berusaha tidak menyangkal jika ada masalah dan mengakui jika kita melakukan kesalahan. Jika orang tua selalu dalam posisi denial, sesungguhnya anak juga lah yang akan jadi korban, dan itu akan menjadi bumerang bagi orang tuanya sendiri.

Berikut ini rangkumannya:



Yang paling dibutuhkan seorang anak adalah: Rasa Aman (Security)

Rasa aman ini akan tercapai ketika kebutuhan anak terpenuhi dari orang tuanya berupa:
  • Perasaan dicintai tanpa syarat
  • Perasaan dihargai
  • Perasaan diterima

Ketika ada kebutuhan yag tidak terpenuhi, anak akan bereaksi melalui “bahasa”nya, seperti menangis, atau pada tingkat lanjut berupa peyimpangan perilaku seperti marah, berteriak, dsb.

4 Alasan terjadinya penyimpangan perilaku anak:
  1. Untuk mendapatkan perhatian orang tua – ketika anak marah-marah atau berguling-guling di lantai, dia sebenarnya mau berkata “Lihat aku. Aku minta perhatianmu."
  2. Untuk mendapatkan kekuasaan dan mengalahkan orang tua – dengan mendapat kekuasaan, anak bisa membuat orang tua memberikan apa yang ia inginkan.
  3. Untuk membalas dendam dan menghukum orang tua yang menolak memberi anak perhatian atau yang memaksa anak menuruti kemauan mereka – misalnya dengan membuat malu orang tuanya di depan umum.
  4. Menjadi tidak produktif atau sakit dan memaksa orang tua merasa kasihan dan melayani anak – contohnya anak yang sering sakit-sakitan, atau yang prestasi akademiknya buruk.

Anak akan menggunakan cara-cara yang ia tahu paling mudah untuk mendapatkan apa yang ia inginkan; yaitu perasaan aman melalui cinta, penerimaan, penghargaan, dan pengakuan dalam keluarga.

Ketika anak tidak mendapatkan apa yang dibutuhkannya di rumah, maka ia akan berusaha mendapatkannya di luar, dari sumber-sumber lain.

Penggunaan hukuman atau pukulan untuk mengoreksi perilaku anak tidak akan efektif karena akan membuat anak merasa diabaikan.

Teori Tangki Cinta

Dalam diri setiap anak ada tangki yang menerima, menampung dan menyimpan cinta, perasaan diri berharga, dan diterima, yang disebut Tangki Cinta.

Ada 2 buah Tangki Cinta: satu yang hanya bisa diisi oleh ayah, dan satu lagi oleh ibu.

Tangki Cinta ini harus diisi setiap hari, oleh ayah dan ibu, karena pasti terjadi kebocoran berupa pengalaman-pengalaman negatif yang dia terima baik dari orang tua maupun dari orang lain (seperti misalnya anak diejek, dimarahi, perasaan malu, takut, tidak disayang, merasa tidak dicintai, tidak diterima, terancam, dsb.)

Saat Tangki Cinta penuh, perilaku anak akan sangat baik. Anak merasa aman, merasa dicintai, diterima, dan dihargai.

Saat Tangki Cinta penuh, apalagi sampai “luber”, anak akan tenang, manis, bahagia, dan damai dengan dirinya sendiri.

Saat Tangki Cinta kosong atau berada pada batas minimal, anak menjadi gelisah dan merasa tidak aman, dan anak akan meminta orang tua untuk mengisi Tangki Cintanya.
Tahap cara anak meminta orang tua mengisi Tangki Cintanya:
  1. Anak akan meminta baik-baik – Jika anak sudah bisa berkomunikasi dengan lancar, ia akan menyampaikan parasaannya ke orang tua. Atau anak menjadi lebih manja, minta ditemani, atau hal lainnya.
  2. Anak akan berulah – melakukan hal yang membuat orang tuanya marah, seperti mogok sekolah, tidak mau mengerjakan PR, tidak mau mandi, dsb. Karena ketika orang tua marah, sebenarnya orang tua sangat fokus dan memberikan “perhatian” pada anak.
Tindakan yang anak lakukan untuk mendapatkan perhatian atau cinta orang tuanya bila diulang-ulang akan menjadi perilaku.

Anak akan mencoba berbagai cara, hingga akhirnya dia tahu mana cara yang paling efektif untuk mendapat apa yang dia inginkan.

Jika cara tersebut diulang-ulang, maka akan menjadi perilaku, dan lama kelamaan akan menjadi habit dan karakter anak yang akan mempengaruhinya sampai ia dewasa nanti.

Mengisi Tangki Cinta dengan Lima Bahasa Cinta:
  1. Melalui waktu yang berkualitas – tapi harus disertai juga dengan kuantitas yang cukup dan kedekatan emosi antara orang tua dan anak.
  2. Melalui kata-kata positif atau pujian dan dukungan – pujilah anak dengan tulus dan spesifik, jangan hanya  sekedar “Bagus”, “Baik”, “Pintar”. Perjelas apa yang bagus dari tindakan anak.
  3. Melalui sentuhan fisik – berupa pelukan sayang, ciuman, belaian, atau elusan.
  4. Melalui pelayanan – dalam arti pelayanan dalam batas yang wajar, seperti menyiapkan air hangat, membantu mengerjakan PR, membuatkan minuman, dsb. (hal-hal yang tidak bisa anak lakukan sendiri), tapi bukan berarti orang tua menjadi pembantu si anak.
  5. Melalui pemberian hadiah – tidak harus berupa barang mahal, tapi bisa berupa barang kecil yang anak suka seperti makanan, buku, dsb.
Selain itu lakukan juga melalui:
  1. Tatapan mata – tatap mata anak dengan lembut saat berkomunikasi dengan anak dan posisikan diri orang tua sejajar dengan anak.
  2. Sentuhan fisik berupa elusan di kepala, tepukan di punggung atau pundak, pelukan sayang, gandengan tangan saat berjalan.
  3. Perhatian yang terpusat – jika punya lebih dari satu anak luangkan waktu jalan-jalan hanya bersama satu anak saja tanpa dengan anak lainnya secara bergantian.
Kenali apa bahasa cinta yang paling anak suka, caranya dengan memperhatikan apa yang anak ucapkan atau lakukan saat mengungkapkan perasaan sayangnya kepada orang di sekitarnya. Atau apa yang paling sering anak minta dari orang tuanya. (misalnya minta ditemani, minta dipuji, dsb.)

Apa Yang Benar dengan Anak?

Sebenarnya tidak ada yang salah dan tidak normal pada diri setiap anak.

Masalah yang terjadi pada diri anak adalah hasil dari sistem yang berjalan dalam keluarga.
Orang tua perlu peka dan selalu melakukan introspeksi diri: “kalau anak saya bermasalah, salah satu penyebabnya adalah saya.”

Masalah muncul karena ada kebutuhan psikis yang tidak terpenuhi.

Anak tidak bisa memprotes atau tidak tahu cara meminta orang tua untuk memenuhi kebutuhan itu, sehingga yang terjadi adalah perubahan perilaku anak yang semakin lama semakin menyimpang.

Jadi kalau sampai anak bermasalah, yang harus orang tua tanyakan kepada dirinya sendiri adalah: “Apa yang benar dengan anak saya? Apa yang ia butuhkan yang belum saya penuhi?”

Ketika anak bermasalah, sebetulnya orang tuanya lah yang bermasalah, dan anak yang terkena imbasnya.

Hipnoterapi bisa membantu, namun efeknya tidak akan permanen jika orang tua tidak mau berubah.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Setelah 4 Bulan Sekolah di Preschool HS

Tahun lalu kami sempat sangat sedih ketika mengetahui anak pertama kami, Rei (saat ini 4 tahun), ditolak masuk di sekolahnya yang sekarang. Tapi sepertinya memang Allah sudah punya rencana lain. Banyak hikmah positif yang bisa diambil dari peristiwa itu. Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, sampai berusaha membuat bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat ahli terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya. Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memberikan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah membuat keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melakukan

Proses Lebih Penting daripada Hasil (Kaitannya dengan Pola Asuh Anak)

Pola pikir yang lebih mementingkan HASIL ketimbang PROSES sepertinya memang sudah sangat mendarah daging di masyarakat kita. Dari hal kecil yang bisa kita temui sehari-hari, sampai hal besar, semua mencerminkan kalau ‘kita’ memang lebih senang langsung menikmati hasil, tapi enggan atau malas melewati prosesnya. Ini artinya lebih banyak orang yang tidak sabar, cenderung ambil jalan pintas, dan mau gampangnya saja, yang penting hasilnya tercapai. Hasil memang penting, tapi proses untuk mencapai hasil itu lebih penting lagi. Gak percaya? Tidak usah jauh-jauh. Untuk mendapat nilai A di sekolah, banyak cara yang bisa ditempuh. Lebih baik mana, si Ali yang belajar sungguh-sungguh, atau si Mawar yang mendapat nilai atas hasil mencontek? Dua-duanya sama mendapat nilai A. Tapi proses untuk mencapai nilai A itu yang membuat si Ali jauh lebih berkualitas dibanding si Mawar. Di dunia nyata pasti akan kelihatan ketika mereka harus mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki. Memang sudah