Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Cerita Tentang Rei & Rutinitas Paginya

Ini adalah pemandangan setiap pagi sebelum Rei berangkat ke sekolah. Dia sudah bisa memakai baju sekolahnya sendiri, lengkap dengan kaosnya dimasukkan rapi ke dalam celananya, di usianya yang baru saja genap 6 tahun. Semua dilakukan sendiri dengan cepat, tanpa drama, tanpa omelan, tanpa teriakan dari orang tuanya lagi. Tentu butuh proses sampai dia bisa lancar seperti sekarang. Yang awalnya masih sering salah, lama, dan tidak fokus. Tapi dia akhirnya bisa, karena saya sebagai orang tua memberinya kesempatan, dan percaya bahwa dia bisa. Orang lain mungkin melihat ini sebagai hal yang sepele, remeh, dan tidak penting. Tapi lihatlah bagaimana ekspresi bahagianya ketika dia berhasil menyelesaikan 'pekerjaannya' itu setiap pagi. Dia akan menghampiri saya dengan tawa cerianya memamerkan keberhasilannya itu, dan saya pun memberinya apresiasi dengan sebuah tepukan hi-5. Ini seolah menjadi kemenangannya setiap pagi, bisa menaklukkan rutinitas paginya sendiri. Ketika memulai hari den

Memutus Mata Rantai: Kebiasaan Menyalahkan Keadaan & Orang Lain

Masih ingat kah apa yang orang tua kita lakukan waktu kita kecil dulu kalau kita menangis akibat terjatuh, terantuk, atau tersandung? Ya, tentu naluri orang tua adalah langsung menolong dan menghibur agar kita berhenti menangis. Tapi ingatkah apa yang dikatakan untuk menghibur kita? "Lantainya nakal nih!" "Pintunya nakal nih!" "Lemarinya nakal nih!" Kalau perlu sambil memdramatisasi dengan memukul-mukul lantai atau pintu yang menyebabkan kita menangis tadi. Di lain kesempatan, jika tidak bendanya yang disalahkan, mungkin pengasuh atau orang yang mendampingi si anak yang dijadikan kambing hitam demi menghibur si anak. "Mbaknya sih gak lihat." "Gimana sih si mbak." "Iya nih mbak." Entah sejak kapan cara seperti ini dilakukan. Tapi saya melihat cara yang sama persis diterapkan oleh bapak, ibu, dan mertua saya ketika menghibur cucunya yang jatuh dan menangis. Bisa jadi ini cara yang sudah dilakukan turun temurun

Refleksi Menjadi Orang Tua: Semua Itu Harus Diusahakan

Sejak punya anak, saya banyak sekali belajar, dan terpaksa harus belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik. Saya belajar bahwa anak tidak dilahirkan dengan sifat-sifat dan karakter baik dari sananya, di mana orang tua tinggal menikmatinya saja. Sebaliknya, anak juga tidak dilahirkan dengan sifat-sifat dan karakter buruk dari sananya, yang seolah menjadi kutukan bagi orang tuanya. Sejatinya tidak ada anak yang terlahir sebagai anak baik, nakal, atau jahat, yang ada adalah anak lahir dalam keadaan belum mengerti. Anak ibarat sebuah komputer yang masih kosong isinya ketika lahir, dan tugas orang tualah untuk “mengisinya” dengan program-program yang baik. Saya belajar bahwa baik buruknya perkembangan anak sangat tergantung dari pola asuh yang didapatnya. Dan semua itu harus diusahakan oleh orang tuanya. Ternyata tidak bisa kita berpikir, nanti kalau sudah besar juga akan mengerti sendiri. Nanti semakin besar juga akan berubah sendiri. Dari pengalaman saya, ternyata tidak demi

Child Empowerment

Saya percaya setiap anak secara naluriah punya kemampuan untuk belajar sendiri secara mandiri sejak ia lahir ( self-learning ). Seorang anak punya kemampuan luar biasa untuk belajar dari setiap kesalahannya sendiri, tanpa perlu ada yang memberitahunya ( self-taught ). Sayangnya, sering kali orang tuanya sendirilah justru yang menjadikan kemampuan itu memudar seiring anak beranjak besar. Bagaimana tidak. Orang tua kerap terlalu takut dan tidak rela membiarkan anaknya melakukan kesalahan, alias cenderung over-protective . Ketimbang melihat si anak jatuh akibat mencoba turun sendiri dari kasur, orang tua lebih senang memegangi si anak. Ketimbang melihat si anak sedikit tersedak akibat mencoba makanan baru, orang tua lebih senang tidak memberikan makanan itu. Ketimbang melihat anaknya menangis, orang tua lebih senang membantu anak dalam segala hal.

Berkompromi Dengan Si Kecil 'Negosiator'

Anak pertama saya (5 tahun) bisa dibilang adalah tipe negosiator. Banyak sekali hal dan kegiatan sehari-hari yang menjadi proses tawar menawar dengannya. Mau mandi sekarang atau nanti, makan sekarang atau 30 menit lagi, tidur sekarang atau 5 menit lagi, bereskan mainan sekarang atau 5 menit lagi, mau makan dulu atau mandi dulu. Itu contoh sebagian dari tawar menawar itu. Dia juga tipe yang keras dengan pendiriannya, dan bisa mengarahkan apa yang menjadi maunya. Menghadapi anak seperti ini tidak hanya harus punya urat sabar yang panjang, tapi juga harus punya akal yang lebih panjang lagi. Kalau kita bersikap otoriter, malah justru akan membuat kondisi semakin kacau, karena pasti akan sering timbul konflik antara orang tua dan anak yang bisa membuat hubungan menjadi tidak sehat.

Kesalahan Terbesar Ortu Dalam Berkomunikasi dengan Anak

Merasa anak suka melawan, tidak mau menurut, susah diajak kerja sama? Jangan buru-buru mencap buruk atau menyalahkan si anak. Coba introspeksi diri, mungkin cara berkomunikasi orang tua kepada anak yang selama ini salah. Salah satu kesalahan terbesar orang tua dalam berkomunikasi dengan anak adalah menganggap anaknya adalah anak kecil. Maksudnya? Tentu saja mereka memang masih kecil, tapi yang dimaksud di sini adalah dalam hal cara memperlakukan si anak. Anak kerap dianggap anak kecil yang pantas untuk dihardik, diomeli, diteriaki, dibentak. Juga omongannya sering kurang dianggap dan didengar. Padahal anak sejatinya sama saja seperti kita manusia dewasa, hanya saja mereka bertubuh kecil dan masih harus banyak belajar. Intinya, mereka adalah manusia kecil.