Langsung ke konten utama

Child Empowerment

Saya percaya setiap anak secara naluriah punya kemampuan untuk belajar sendiri secara mandiri sejak ia lahir (self-learning). Seorang anak punya kemampuan luar biasa untuk belajar dari setiap kesalahannya sendiri, tanpa perlu ada yang memberitahunya (self-taught).

Sayangnya, sering kali orang tuanya sendirilah justru yang menjadikan kemampuan itu memudar seiring anak beranjak besar.

Bagaimana tidak. Orang tua kerap terlalu takut dan tidak rela membiarkan anaknya melakukan kesalahan, alias cenderung over-protective.

Ketimbang melihat si anak jatuh akibat mencoba turun sendiri dari kasur, orang tua lebih senang memegangi si anak. Ketimbang melihat si anak sedikit tersedak akibat mencoba makanan baru, orang tua lebih senang tidak memberikan makanan itu. Ketimbang melihat anaknya menangis, orang tua lebih senang membantu anak dalam segala hal.

Ketika anak benar-benar mengalami kesalahan seperti jatuh atau tersedak pun, kerap orang tua memberikan reaksi yang kurang pas. Seperti misalnya berteriak, atau mengasihani anak secara berlebihan. Sering justru anak menangis bukan karena kesakitan, tapi akibat melihat reaksi orang tuanya. Reaksi lain yang juga lucu adalah ketika anak jatuh atau terantuk, banyak orang tua yang kemudian menghibur anaknya dengan berkata "lantainya nakal", "pintunya nakal". Bagaimana anak bisa belajar dari kesalahannya jika demikian?

Akibatnya, anak bisa menjadi takut untuk mencoba hal baru, cengeng, ceroboh, atau mempunyai daya juang yang lemah. Bahkan ada yang menjadi cenderung menyalahkan orang lain ketika salah.

Mau bukti bahwa seorang anak punya naluri untuk belajar sendiri sejak bayi?

Anak bayi yang baru lahir bisa dengan sendirinya menyusu dari puting ibunya. Apakah si ibu mengajarinya?

Jika kita mempraktekkan Baby-Led-Weaning ketika anak berumur 6 bulan, anak dengan sendirinya akan bisa mengunyah dan menelan makanan. Bahkan jika tersedak, dia akan dengan sendirinya tahu bagaimana caranya agar tidak tersedak lagi. Apakah kita bisa memberitahu dia caranya, sementara dia belum bisa diajak berkomunikasi secara langsung?

Ada pepatah yang mengatakan:
"Kegagalan bukanlah lawan dari kesuksesan. Kegagalan adalah bagian dari kesuksesan." 

Demikian juga dengan kemampuan anak.

Ketika anak jatuh, tersedak, terantuk, dsb., sebetulnya itu adalah bagian dari proses dirinya berkembang dan belajar. Kita harus melihatnya bukan sebagai kegagalan si anak, tapi sebagai proses si anak menuju kemampuan yang lebih tinggi, karena dia akan belajar dari kesalahannya itu. Bahkan ketika anak menangis sekalipun.

Intinya, anak bisa meraih kemampuan yang dibutuhkan dengan sendirinya jika diberi kesempatan.

Inilah yang disebut child empowerment. Ketimbang kita harus selalu mengawasi, mencekoki, menyuapi, dan membantu si anak dalam segala hal, lebih baik kita beri anak kemampuan yang dibutuhkan itu sendiri, dengan cara memberi kesempatan anak untuk mencobanya sesering mungkin. Sehingga ketika kita sedang lengah untuk menjaganya, anak tidak akan dengan begitu gampang mencelakakan dirinya sendiri. Ketika kita tidak punya cukup waktu untuk membantunya, anak tetap bisa melakukan sesuatu yang dibutuhkannya sendiri.

Tugas orang tua adalah menjaga dan membimbing anak. Itu bukan berarti membantunya dalam melakukan segala hal. Menjaga adalah memastikan agar kondisi fatal tidak terjadi. Membimbing adalah membuat anak sadar akan kesalahan yang dia lakukan.

Ketika anak sudah besar dan mengalami kegagalan, jangan menceramahinya. Lebih baik mengajaknya berdiskusi dan bertanya, belajar apa dia dari kegagalannya itu?

Karena itulah ada pepatah yang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Anak sesungguhnya bisa belajar lebih baik dari pengalamannya sendiri, bukan dari teriakan atau ceramah orang tuanya.

Jadi, ubahlah mindset kita. Jangan terlalu paranoid akan kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan si anak. Berilah anak kesempatan mencoba sebanyak-banyaknya. Biarkan anak melakukan kesalahan sebanyak-banyaknya. Karena lewat kesalahannya itulah anak akan belajar menjadi lebih baik.

Jika kita konsisten, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang gigih, tidak mudah menyerah, tidak meratapi nasib ketika gagal, selalu mau belajar dan bangkit dari kesalahan dan kegagalannya. Singkatnya, menjadi manusia yang memiliki Adversity Quotient yang tinggi.

Komentar

  1. CASINOS LOS ANGELES, CA - 2021 - JTM Hub
    CASINOS LOS 대구광역 출장마사지 ANGELES, CA - 2021 - JTM Hub. JTM's online slots 안동 출장마사지 selection 문경 출장마사지 now offers some of the hottest casino slots from 세종특별자치 출장샵 the best provider of 파주 출장샵 software for

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Tangki Cinta Anak

Ini adalah tulisan yang saya rangkum dari Bab 1-2 buku "Hypnotherapy for Children" karya Adi W. Gunawan, seorang ahli hipnoterapi. Penjelasan teori dalam buku tersebut banyak membukakan mata saya mengenai apa yang sebenarnya menjadi "akar permasalahan" ketika perilaku anak kita bermasalah. Ini sangat membantu saya memahami anak dan bagaimana saya harus bersikap dan memperlakukan anak. Bagi saya ini bukan hanya sekedar teori. Tidak ada yang mengatakan menjadi orang tua itu gampang, tapi tidak ada yang mustahil untuk ditangani selama kita berpikir positif. Karena itu saya pribadi selalu membaca dan membekali diri saya dengan ilmu parenting sebanyak-banyaknya, sambil tidak lupa selalu melakukan introspeksi diri dan open-minded , yaitu berusaha tidak menyangkal jika ada masalah dan mengakui jika kita melakukan kesalahan. Jika orang tua selalu dalam posisi  denial , sesungguhnya anak juga lah yang akan jadi korban, dan itu akan menjadi bumerang bagi orang tuanya se...

Cerita Setelah 4 Bulan Sekolah di Preschool HS

Tahun lalu kami sempat sangat sedih ketika mengetahui anak pertama kami, Rei (saat ini 4 tahun), ditolak masuk di sekolahnya yang sekarang. Tapi sepertinya memang Allah sudah punya rencana lain. Banyak hikmah positif yang bisa diambil dari peristiwa itu. Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, sampai berusaha membuat bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat ahli terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya. Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memberikan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah membuat keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melakukan...

Proses Lebih Penting daripada Hasil (Kaitannya dengan Pola Asuh Anak)

Pola pikir yang lebih mementingkan HASIL ketimbang PROSES sepertinya memang sudah sangat mendarah daging di masyarakat kita. Dari hal kecil yang bisa kita temui sehari-hari, sampai hal besar, semua mencerminkan kalau ‘kita’ memang lebih senang langsung menikmati hasil, tapi enggan atau malas melewati prosesnya. Ini artinya lebih banyak orang yang tidak sabar, cenderung ambil jalan pintas, dan mau gampangnya saja, yang penting hasilnya tercapai. Hasil memang penting, tapi proses untuk mencapai hasil itu lebih penting lagi. Gak percaya? Tidak usah jauh-jauh. Untuk mendapat nilai A di sekolah, banyak cara yang bisa ditempuh. Lebih baik mana, si Ali yang belajar sungguh-sungguh, atau si Mawar yang mendapat nilai atas hasil mencontek? Dua-duanya sama mendapat nilai A. Tapi proses untuk mencapai nilai A itu yang membuat si Ali jauh lebih berkualitas dibanding si Mawar. Di dunia nyata pasti akan kelihatan ketika mereka harus mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki. Memang sudah ...