Langsung ke konten utama

Berkompromi Dengan Si Kecil 'Negosiator'

Anak pertama saya (5 tahun) bisa dibilang adalah tipe negosiator. Banyak sekali hal dan kegiatan sehari-hari yang menjadi proses tawar menawar dengannya. Mau mandi sekarang atau nanti, makan sekarang atau 30 menit lagi, tidur sekarang atau 5 menit lagi, bereskan mainan sekarang atau 5 menit lagi, mau makan dulu atau mandi dulu. Itu contoh sebagian dari tawar menawar itu. Dia juga tipe yang keras dengan pendiriannya, dan bisa mengarahkan apa yang menjadi maunya.

Menghadapi anak seperti ini tidak hanya harus punya urat sabar yang panjang, tapi juga harus punya akal yang lebih panjang lagi. Kalau kita bersikap otoriter, malah justru akan membuat kondisi semakin kacau, karena pasti akan sering timbul konflik antara orang tua dan anak yang bisa membuat hubungan menjadi tidak sehat.

Pengalaman terakhir yang membuat kami cukup pusing adalah masalah ritual pagi ketika akan berangkat sekolah, dari bangun pagi, mandi, sarapan, memakai baju, sampai berangkat ke sekolah. Waktunya bangun, dia bilang masih ngantuk dan minta 5 menit lagi. Waktunya mandi, dia minta sarapan dulu. Sudah waktunya mandi, dia masih minta bermain dulu sebentar. Sudah mau mandi, dia minta mandi di kamar mandi yang ini bukan yang itu. Bayangkan tawar menawar itu harus dilakukan setiap pagi, 5 hari dalam seminggu. Tidak jarang jam berangkat kemudian menjadi molor dan walhasil terlambat sampai di sekolah.

Untuk mengatasi itu, akhirnya saya berinisiatif membuat planning atau susunan kegiatan rutin setiap pagi yang dia tentukan sendiri urutan kegiatannya dan kita sepakati bersama. Tentu dengan arahan saya sebagai orang tua. Dan foto di bawah inilah hasilnya.

Planning yang dibuat Rei di atas kertas dan ditempel di lemari
Berhubung dia belum bisa baca-tulis, maka kegiatan-kegiatannya dicantumkan menggunakan gambar. Saya membantu membuat garis yang menjadi patokan urutan kegiatannya di sebelah kiri, dan dia sendiri yang menggambar kegiatan-kegiatannya, dan juga diberi angka urutan di sebelah kanan. Tidak masalah gambarnya kurang jelas, yang penting dia mengerti.

Urutan yang paling pertama setelah bangun tidur adalah bermain (gambar sepeda karena dia sedang suka bermain sepeda), kemudian dilanjutkan dengan makan (gambar piring dan sendok), mandi (gambar shower), memakai baju (gambar baju dan celana), dan terakhir memakai sepatu (gambar sepatu dan kaus kaki). Saya memang sengaja membiarkan dia mencantumkan bermain, karena dulu sering sekali dia beralasan mau bermain dulu sebelum mau mandi. Tapi kali ini saya mengingatkan, kalau dia mau bermain dulu maka dia harus mau bangun lebih pagi. Tidak lupa, terakhir kertasnya harus dia tanda-tangani sendiri sebagai bentuk komitmen (sebetulnya bukan tanda tangan, tapi hanya tulisan namanya. Meskipun belum bisa baca-tulis, dia sudah bisa menulis namanya sendiri).

Hasilnya, Alhamdulillah, ternyata cara ini sangat efektif untuk meminimalisir tawar menawar yang terjadi setiap pagi. Sudah berjalan 2 bulan, dan dia cukup konsisten mengikuti urutan kegiatannya setiap pagi. Mungkin karena dia merasa dia sendiri yang membuat planning tersebut (meskipun sebetulnya disetir oleh saya). Planning ini pun sebetulnya sempat satu kali berubah setelah berjalan 2 minggu. Planning awal memang saya yang lebih banyak menyetir, dan di planning kedua saya jadinya harus berkompromi memberikan dia lebih banyak kesempatan untuk menentukan sendiri. Tapi dengan begitu ternyata dia menjadi lebih konsisten menjalaninya. Jika ada tanda-tanda dia mulai tidak konsisten, saya akan mengingatkan “Lihat dong planning-nya, itu ada tanda tangan Rei lho!” Planning ini juga membantu kami sebagai ortu untuk tidak lagi menebak-nebak kegiatan apa yang mau dia lakukan, sehingga jam berangkat ke sekolah lebih terkontrol.

Untungnya, kegiatan di sekolahnya sehari-hari memang menggunakan planning, yaitu dengan metode plan-do-review. Sehingga dia tidak asing lagi dengan hal planning mem-planning seperti ini. Ide ini pun saya dapat dari sekolahnya. Inilah pentingnya memilih sekolah yang tepat. Sekolah sepatutnya bukanlah hanya urusan knowledge (pengetahuan) dan intelegensia semata, tapi juga harus bisa mendukung pola asuh yang diterapkan di rumah.

Tidak hanya ritual pagi, malah kemudian dia berinisiatif sendiri membuat planning kegiatannya sesudah pulang sekolah, termasuk menyisipkan kegiatan mengaji di dalamnya.

Memang tugas orang tua bukanlah meredam dan mengontrol anak menjadi 100% penurut pada orang tuanya seperti robot. Saya tidak mau gegabah menganggap sifat dia yang suka tawar menawar itu sebagai hal negatif dan kemudian berusaha mengubahnya. Justru tantangan kita sebagai orang tua adalah mengarahkan anak dan membuat hal itu menjadi potensi yang positif sebagai bekal hidupnya di kemudian hari. Maaf saja, saya memang tidak mengejar anak untuk cepat bisa membaca, berhitung, atau hal-hal akademis lainnya. Menurut saya pembangunan karakter seperti ini jauh lebih penting, dan sebetulnya juga lebih sulit. Selain melatih keteraturan, planning ini juga mengajarkan tentang tanggung jawab. Kemauannya yang cenderung keras dan ingin selalu tawar menawar itu pun bisa dikembangkan ke arah yang positif. Mungkin saja kelak dia bisa jadi negosiator ulung. Hari ini dia masih harus didampingi ketat dalam membuat planning, tapi di kemudian hari mungkin dia bisa membuat planning kesehariannya sendiri tanpa banyak intervensi, bahkan juga planning untuk masa depannya sendiri.

Perjalanan masih panjang. Masih banyak tantangan ke depan dengan semakin beranjaknya umurnya, dan saya harus siap-siap memutar otak lebih banyak lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Tangki Cinta Anak

Ini adalah tulisan yang saya rangkum dari Bab 1-2 buku "Hypnotherapy for Children" karya Adi W. Gunawan, seorang ahli hipnoterapi. Penjelasan teori dalam buku tersebut banyak membukakan mata saya mengenai apa yang sebenarnya menjadi "akar permasalahan" ketika perilaku anak kita bermasalah. Ini sangat membantu saya memahami anak dan bagaimana saya harus bersikap dan memperlakukan anak. Bagi saya ini bukan hanya sekedar teori. Tidak ada yang mengatakan menjadi orang tua itu gampang, tapi tidak ada yang mustahil untuk ditangani selama kita berpikir positif. Karena itu saya pribadi selalu membaca dan membekali diri saya dengan ilmu parenting sebanyak-banyaknya, sambil tidak lupa selalu melakukan introspeksi diri dan open-minded , yaitu berusaha tidak menyangkal jika ada masalah dan mengakui jika kita melakukan kesalahan. Jika orang tua selalu dalam posisi  denial , sesungguhnya anak juga lah yang akan jadi korban, dan itu akan menjadi bumerang bagi orang tuanya se...

Cerita Setelah 4 Bulan Sekolah di Preschool HS

Tahun lalu kami sempat sangat sedih ketika mengetahui anak pertama kami, Rei (saat ini 4 tahun), ditolak masuk di sekolahnya yang sekarang. Tapi sepertinya memang Allah sudah punya rencana lain. Banyak hikmah positif yang bisa diambil dari peristiwa itu. Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, sampai berusaha membuat bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat ahli terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya. Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memberikan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah membuat keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melakukan...

Proses Lebih Penting daripada Hasil (Kaitannya dengan Pola Asuh Anak)

Pola pikir yang lebih mementingkan HASIL ketimbang PROSES sepertinya memang sudah sangat mendarah daging di masyarakat kita. Dari hal kecil yang bisa kita temui sehari-hari, sampai hal besar, semua mencerminkan kalau ‘kita’ memang lebih senang langsung menikmati hasil, tapi enggan atau malas melewati prosesnya. Ini artinya lebih banyak orang yang tidak sabar, cenderung ambil jalan pintas, dan mau gampangnya saja, yang penting hasilnya tercapai. Hasil memang penting, tapi proses untuk mencapai hasil itu lebih penting lagi. Gak percaya? Tidak usah jauh-jauh. Untuk mendapat nilai A di sekolah, banyak cara yang bisa ditempuh. Lebih baik mana, si Ali yang belajar sungguh-sungguh, atau si Mawar yang mendapat nilai atas hasil mencontek? Dua-duanya sama mendapat nilai A. Tapi proses untuk mencapai nilai A itu yang membuat si Ali jauh lebih berkualitas dibanding si Mawar. Di dunia nyata pasti akan kelihatan ketika mereka harus mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki. Memang sudah ...