Ini adalah pemandangan setiap pagi sebelum Rei berangkat ke sekolah. Dia sudah bisa memakai baju sekolahnya sendiri, lengkap dengan kaosnya dimasukkan rapi ke dalam celananya, di usianya yang baru saja genap 6 tahun. Semua dilakukan sendiri dengan cepat, tanpa drama, tanpa omelan, tanpa teriakan dari orang tuanya lagi.
Tentu butuh proses sampai dia bisa lancar seperti sekarang. Yang awalnya masih sering salah, lama, dan tidak fokus. Tapi dia akhirnya bisa, karena saya sebagai orang tua memberinya kesempatan, dan percaya bahwa dia bisa.
Orang lain mungkin melihat ini sebagai hal yang sepele, remeh, dan tidak penting. Tapi lihatlah bagaimana ekspresi bahagianya ketika dia berhasil menyelesaikan 'pekerjaannya' itu setiap pagi. Dia akan menghampiri saya dengan tawa cerianya memamerkan keberhasilannya itu, dan saya pun memberinya apresiasi dengan sebuah tepukan hi-5. Ini seolah menjadi kemenangannya setiap pagi, bisa menaklukkan rutinitas paginya sendiri. Ketika memulai hari dengan perasaan "kemenangan", itu akan menjadi mood-booster, dan membuat dia menjadi lebih percaya diri menjalani hal-hal lainnya di hari itu, bahkan untuk menaklukkan dunia sekalipun. Hal kecil, namun bisa jadi sangat bermakna untuk anak seumurnya.
Bagi saya, inilah piala yang sesungguhnya. Bukan piala dari lomba ini itu yang bisa dipajang di lemari. Hal kecil ini bisa menjadi bekal bagi kehidupannya di masa depan, karena sesungguhnya aspek yang berkembang bukan hanya masalah ketrampilan memakai baju, tapi juga mental dan karakternya. Apa yang ditanamkan sekarang, akan membentuk dirinya 10-20 tahun lagi.
Ini juga menjadi salah satu bukti bahwa anak sebetulnya bisa melakukan dan mencapai apa pun, asal orang tuanya percaya bahwa dia bisa, dan orang tuanya mau memberinya kesempatan.
Seperti dikutip dari buku "Keluarga Kita: Mencintai dengan Lebih Baik" karya Najelaa Shihab:
Tugas orang tua adalah memberi bekal bagi anaknya agar bisa hidup mandiri kelak dan menjadi manusia seutuhnya. Bukan menjadi manusia yang selalu bergantung pada orang tuanya atau orang lain. Tantangan hari ini berbeda dengan tantangan yang ada ketika saya kecil dulu. Tantangan di masa depan pasti berbeda dan akan jauh lebih berat dibanding hari ini. Karena itu harus dipersiapkan sejak dini.
Kendala terbesar justru bukan datang dari si anak, tapi bagaimana meyakinkan dan mengedukasi orang-orang dalam seputar kehidupan sehari-hari si anak mengenai pola asuh yang terbaik bagi si anak, yang tidak hanya berorientasi pada jangka pendek, namun terpenting lagi untuk jangka panjang dan masa depannya. Bahkan kadang pertentangan datang dari ibunya sendiri.
Terkadang kita sudah begitu terlena dan nyaman dengan pola asuh lama yang ingin serba cepat beres, tapi sebetulnya memberi ruang yang sempit untuk perkembangan anak, baik secara fisik maupun mental. Terkadang juga orang tua enggan mengubah pola asuh dengan dalih kasihan kepada si anak jika mengubah kebiasaan yang sudah berjalan. Tapi bagi saya, lebih kasihan lagi kalau anak saya tidak mempunyai bekal yang cukup dalam menghadapi masa depannya. Bagaimana bisa menghadapi tantangan masa depan yang berat, kalau untuk menangani tantangan memakai baju sendiri saja tidak diberi kesempatan? Apalagi Rei adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Jika terus ditunda, maka PR pengasuhan akan semakin menumpuk karena kami juga harus mengasuh dan mendidik adik-adiknya. Harapannya Rei bisa menjadi panutan bagi adik-adiknya. Memang semua itu butuh tekad kuat dan konsistensi.
Program berikutnya adalah membiasakan Rei makan sendiri tanpa disuapi lagi ketika makan pagi, siang, dan sore. Saya yakin makan bukan hanya perkara mengisi perut dan pertumbuhan, tapi juga proses belajar bagi si anak. Banyak sekali aspek-aspek yang akan terstimulasi dengan dia melakukannya sendiri. Dari mulai meningkatkan kepercayaan dirinya, kemandirian, koordinasi motorik, self-regulation, kebiasaan hidup sehat, mengeksplorasi makanan-makanan baru, sampai mengambil keputusan. Usia 6 tahun bukan lagi usia kritis gizi, bahkan sebetulnya Rei sudah agak overweight. Sudah saatnya dia bisa menerapkan kemandirian dalam hal makan. Tentu itu butuh proses dan waktu, demi sesuatu yang lebih baik. (Lagi-lagi) PR-nya adalah meyakinkan dulu orang-orang di sekitarnya. Untuk Rei sendiri, saya yakin dia pasti bisa.
Kalau saja Rei sudah mengerti semuanya ini, mungkin dia akan bilang, "Percaya sama Rei ya ma, Rei mau jadi orang hebat."
Tentu butuh proses sampai dia bisa lancar seperti sekarang. Yang awalnya masih sering salah, lama, dan tidak fokus. Tapi dia akhirnya bisa, karena saya sebagai orang tua memberinya kesempatan, dan percaya bahwa dia bisa.
Orang lain mungkin melihat ini sebagai hal yang sepele, remeh, dan tidak penting. Tapi lihatlah bagaimana ekspresi bahagianya ketika dia berhasil menyelesaikan 'pekerjaannya' itu setiap pagi. Dia akan menghampiri saya dengan tawa cerianya memamerkan keberhasilannya itu, dan saya pun memberinya apresiasi dengan sebuah tepukan hi-5. Ini seolah menjadi kemenangannya setiap pagi, bisa menaklukkan rutinitas paginya sendiri. Ketika memulai hari dengan perasaan "kemenangan", itu akan menjadi mood-booster, dan membuat dia menjadi lebih percaya diri menjalani hal-hal lainnya di hari itu, bahkan untuk menaklukkan dunia sekalipun. Hal kecil, namun bisa jadi sangat bermakna untuk anak seumurnya.
Bagi saya, inilah piala yang sesungguhnya. Bukan piala dari lomba ini itu yang bisa dipajang di lemari. Hal kecil ini bisa menjadi bekal bagi kehidupannya di masa depan, karena sesungguhnya aspek yang berkembang bukan hanya masalah ketrampilan memakai baju, tapi juga mental dan karakternya. Apa yang ditanamkan sekarang, akan membentuk dirinya 10-20 tahun lagi.
Ini juga menjadi salah satu bukti bahwa anak sebetulnya bisa melakukan dan mencapai apa pun, asal orang tuanya percaya bahwa dia bisa, dan orang tuanya mau memberinya kesempatan.
Seperti dikutip dari buku "Keluarga Kita: Mencintai dengan Lebih Baik" karya Najelaa Shihab:
"Orang tua perlu percaya anaknya mampu, bahkan sebelum anak membuktikan pada dirinya dan dunia bahwa dia bisa berhasil."
Sedihnya, anak juga kerap menjadi tidak bisa ini itu karena orang tua atau pengasuhnya sendiri yang sudah menghakimi bahwa si anak tidak bisa.Tugas orang tua adalah memberi bekal bagi anaknya agar bisa hidup mandiri kelak dan menjadi manusia seutuhnya. Bukan menjadi manusia yang selalu bergantung pada orang tuanya atau orang lain. Tantangan hari ini berbeda dengan tantangan yang ada ketika saya kecil dulu. Tantangan di masa depan pasti berbeda dan akan jauh lebih berat dibanding hari ini. Karena itu harus dipersiapkan sejak dini.
Kendala terbesar justru bukan datang dari si anak, tapi bagaimana meyakinkan dan mengedukasi orang-orang dalam seputar kehidupan sehari-hari si anak mengenai pola asuh yang terbaik bagi si anak, yang tidak hanya berorientasi pada jangka pendek, namun terpenting lagi untuk jangka panjang dan masa depannya. Bahkan kadang pertentangan datang dari ibunya sendiri.
Terkadang kita sudah begitu terlena dan nyaman dengan pola asuh lama yang ingin serba cepat beres, tapi sebetulnya memberi ruang yang sempit untuk perkembangan anak, baik secara fisik maupun mental. Terkadang juga orang tua enggan mengubah pola asuh dengan dalih kasihan kepada si anak jika mengubah kebiasaan yang sudah berjalan. Tapi bagi saya, lebih kasihan lagi kalau anak saya tidak mempunyai bekal yang cukup dalam menghadapi masa depannya. Bagaimana bisa menghadapi tantangan masa depan yang berat, kalau untuk menangani tantangan memakai baju sendiri saja tidak diberi kesempatan? Apalagi Rei adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Jika terus ditunda, maka PR pengasuhan akan semakin menumpuk karena kami juga harus mengasuh dan mendidik adik-adiknya. Harapannya Rei bisa menjadi panutan bagi adik-adiknya. Memang semua itu butuh tekad kuat dan konsistensi.
Program berikutnya adalah membiasakan Rei makan sendiri tanpa disuapi lagi ketika makan pagi, siang, dan sore. Saya yakin makan bukan hanya perkara mengisi perut dan pertumbuhan, tapi juga proses belajar bagi si anak. Banyak sekali aspek-aspek yang akan terstimulasi dengan dia melakukannya sendiri. Dari mulai meningkatkan kepercayaan dirinya, kemandirian, koordinasi motorik, self-regulation, kebiasaan hidup sehat, mengeksplorasi makanan-makanan baru, sampai mengambil keputusan. Usia 6 tahun bukan lagi usia kritis gizi, bahkan sebetulnya Rei sudah agak overweight. Sudah saatnya dia bisa menerapkan kemandirian dalam hal makan. Tentu itu butuh proses dan waktu, demi sesuatu yang lebih baik. (Lagi-lagi) PR-nya adalah meyakinkan dulu orang-orang di sekitarnya. Untuk Rei sendiri, saya yakin dia pasti bisa.
Kalau saja Rei sudah mengerti semuanya ini, mungkin dia akan bilang, "Percaya sama Rei ya ma, Rei mau jadi orang hebat."
Komentar
Posting Komentar