Langsung ke konten utama

Refleksi Menjadi Orang Tua: Semua Itu Harus Diusahakan

Sejak punya anak, saya banyak sekali belajar, dan terpaksa harus belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik.

Saya belajar bahwa anak tidak dilahirkan dengan sifat-sifat dan karakter baik dari sananya, di mana orang tua tinggal menikmatinya saja. Sebaliknya, anak juga tidak dilahirkan dengan sifat-sifat dan karakter buruk dari sananya, yang seolah menjadi kutukan bagi orang tuanya. Sejatinya tidak ada anak yang terlahir sebagai anak baik, nakal, atau jahat, yang ada adalah anak lahir dalam keadaan belum mengerti.

Anak ibarat sebuah komputer yang masih kosong isinya ketika lahir, dan tugas orang tualah untuk “mengisinya” dengan program-program yang baik.

Saya belajar bahwa baik buruknya perkembangan anak sangat tergantung dari pola asuh yang didapatnya. Dan semua itu harus diusahakan oleh orang tuanya.

Ternyata tidak bisa kita berpikir, nanti kalau sudah besar juga akan mengerti sendiri. Nanti semakin besar juga akan berubah sendiri. Dari pengalaman saya, ternyata tidak demikian. Bahkan jika orang tua lalai, hal-hal buruk yang tidak dikoreksi sejak dini bisa terbawa terus, bahkan mungkin sampai dewasa. Jauh lebih sulit mengoreksi sesuatu yang sudah terlanjur terbentuk, ketimbang menanganinya sejak dini. Jalan terbaik adalah dengan mengantisipasi dan mencegah hal buruk terjadi sejak awal.

Ingin anak menjadi anak yang baik, suka berbagi, kooperatif, suka makan buah dan sayur, tidak mudah putus asa, tidak cengeng, sayang pada kakak/adik, sopan, rajin, sehat secara fisik, dan berjibun hal baik lainnya? Semuanya bisa, tapi jangan harap itu akan datang dengan sendirinya. Semua harus diusahakan oleh orang tua.

Sebaliknya, kalau anak berkembang menjadi anak yang suka membantah, sulit diajak bekerjasama, cengeng, tidak percaya diri, egois, picky-eater, dan berbagai sifat buruk lainnya? Jangan menyalahkan si anak. Justru orang tua lah yang harus introspeksi diri bagaimana pola asuh yang sudah diberikan pada si anak selama ini. Bagaimana orang tua memperlakukan anak selama ini. Semua itu tidak terjadi begitu saja, tapi terbentuk dari kebiasaan sehari-hari. Sikap yang ditunjukkan anak kepada orang tuanya adalah refleksi dari sikap yang orang tua berlakukan kepada si anak.

Jangan juga terjebak menyelesaikan masalah dengan menempuh jalan pintas, karena kita harus selalu berpikir untuk jangka panjang. Solusi yang baik adalah yang juga akan berefek baik untuk jangka panjang, meskipun lebih sulit. Jalan pintas sering kali hanya akan menyelesaikan masalah pada saat itu saja, tapi belum tentu berefek baik secara jangka panjang, bahkan sering malah menimbulkan masalah lebih besar di kemudian hari. Bukan sulit, hanya butuh usaha lebih.

Seringkali orang tua menganggap anak belum bisa, sehingga mengambil jalan pintas untuk menyelesaikannya. Tapi yang dilakukan orang tua sebenarnya hanya menghindari masalah, bukan menghadapi dan menyelesaikan masalah. Ketika kita hanya menghindari masalah, masalah itu akan tetap ada, dan justru bisa berkembang menjadi masalah yang lebih besar di kemudian hari. Ingat bahwa orang tua mempunyai misi mendidik anak, bukan hanya sekedar yang penting beres.

Anak menangis ketika ditinggal orang tua pergi bekerja? Itu hal yang wajar, karena anak belum mengerti. Berilah dia kesempatan untuk belajar memahami, untuk belajar me-manage emosinya. Biasakan tetap pamit langsung di depan anak ketika akan pergi, sampai anak akhirnya mengerti dan menganggap itu hal yang biasa sehingga tidak menangis lagi. Bukan malah selalu diam-diam pergi ketika anak sedang bermain. Percayalah, semakin tidak dilatih sejak dini, anak akan semakin susah diubah. Sering 'membohongi' anak juga akan menumbuhkan rasa insecure dan 'lack of trust' pada anak terhadap orang tuanya sendiri.

Anak pilih-pilih makanan dan sangat picky-eater? Adalah mitos jika ada yang mengatakan bahwa Picky-eater adalah sifat keturunan. Menurut penelitian, tidak ada gen pembawa sifat picky-eater. Yang ada adalah gen menyangkut selera akan rasa manis, asin, asam, pahit, pedas, dst. Itupun bisa berubah berdasarkan pengalaman yang diterima. Picky-eater lebih dikarenakan anak kurang mendapat pengalaman makan yang baik dan positif ketika masih kecil. Juga kurangnya stimulasi pada anak. Coba ingat-ingat lagi apakah kita sudah memberikan pengalaman makan yang baik ketika anak masih kecil dulu? Bagaimana sikap dan perlakuan kita setiap kali dia susah atau tidak mau makan? Apakah kita memberikan ia banyak kesempatan untuk mengeksplorasi makanan, bukan melulu disuapi? Apakah kita menerapkan jendela makan sehingga anak tahu rasanya lapar dan kenyang? Seringkali orang tua lupa bahwa makan juga adalah proses belajar dan stimulasi untuk anak, bukan hanya masalah mengisi perut dan pertumbuhan.

Anak susah diajak kerjasama alias tidak kooperatif? Tengok bagaimana cara kita berkomunikasi dan memperlakukan anak setiap harinya. Apa kita sudah menerapkan cara berkomunikasi dan berinteraksi yang positif? Atau kita selalu menegur anak dengan nada tinggi, teriakan, dan hardikan, juga suka 'membantah' omongannya?

Anak sangat cengeng dan selalu menangis berlebihan ketika jatuh? Coba lihat bagaimana reaksi kita selama ini ketika dia jatuh. Apakah ikut berteriak dan mengasihani secara berlebihan? Kita seharusnya melihat peristiwa jatuh sebagai proses anak belajar, bukan sebagai suatu kegagalan atau ketidakmampuan anak. Anak pasti belajar sesuatu dari jatuhnya itu, yaitu bagaimana agar dia tidak jatuh lagi. Keledai saja tidak jatuh di lubang yang sama. Jadi orang tua justru harus memberi semangat ini kepada anak. Bukan mengasihaninya secara berlebihan atau malah menjadi over-protective.

Dan masih banyak sekali contoh-contoh lainnya.

Semua itu butuh proses, tidak ada yang instan. Orang tua harus mau sabar melalui semua prosesnya, bukan hanya mau hasilnya saja. Jika prosesnya baik, otomatis hasilnya juga akan baik.

Membesarkan anak memang bukan hal yang mudah, bisa ditanyakan kepada semua orang tua di seluruh dunia. Mengharapkan semuanya berjalan mulus dan sesuai kemauan kita adalah hal yang mustahil. Mengeluh pada setiap kesulitan yang kita temui ketika menghadapi anak bukanlah sikap yang adil kepada Sang Pencipta. Bagaimana bisa kita begitu memohon kepada-Nya mengharapkan kehadiran si buah hati, tapi lalu sedikit-sedikit mengeluh dan marah ketika kita sudah diberi?

Sesulit apapun, mempunyai anak adalah hal yang harus disyukuri. Merekalah ladang pahala kita. Mereka juga lah penerus amal kita ketika kita sudah tidak ada lagi di dunia.

Kalau diingat-ingat, banyak sekali kesalahan yang kami lakukan dalam mengasuh anak pertama kami, sehingga banyak hal-hal yang harus kami koreksi dan betulkan belakangan. Dan ternyata jauh lebih sulit mengoreksi sesuatu jika sudah terlanjur terbentuk, meskipun bukan tidak mungkin.

Tentu sedikit banyak ada rasa penyesalan. Tapi tidak ada gunanya larut dalam penyesalan. Tidak ada gunanya juga berusaha mencari dan menuding siapa yang salah, yang hanya akan menguras energi tidak berguna. Yang paling penting adalah menyadari apa kesalahan itu, dan pelajaran apa yang bisa kita dapat dari kesalahan itu, serta bagaimana agar kita menjadi lebih baik lagi ke depannya. Terutama karena saya masih harus juga membesarkan anak kedua (dan Insya Allah ketiga juga).

Tulisan ini adalah refleksi saya pribadi, dan sebagai pengingat agar saya selalu istiqomah berusaha terus belajar menjadi orang tua yang baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Tangki Cinta Anak

Ini adalah tulisan yang saya rangkum dari Bab 1-2 buku "Hypnotherapy for Children" karya Adi W. Gunawan, seorang ahli hipnoterapi. Penjelasan teori dalam buku tersebut banyak membukakan mata saya mengenai apa yang sebenarnya menjadi "akar permasalahan" ketika perilaku anak kita bermasalah. Ini sangat membantu saya memahami anak dan bagaimana saya harus bersikap dan memperlakukan anak. Bagi saya ini bukan hanya sekedar teori. Tidak ada yang mengatakan menjadi orang tua itu gampang, tapi tidak ada yang mustahil untuk ditangani selama kita berpikir positif. Karena itu saya pribadi selalu membaca dan membekali diri saya dengan ilmu parenting sebanyak-banyaknya, sambil tidak lupa selalu melakukan introspeksi diri dan open-minded , yaitu berusaha tidak menyangkal jika ada masalah dan mengakui jika kita melakukan kesalahan. Jika orang tua selalu dalam posisi  denial , sesungguhnya anak juga lah yang akan jadi korban, dan itu akan menjadi bumerang bagi orang tuanya se...

Cerita Setelah 4 Bulan Sekolah di Preschool HS

Tahun lalu kami sempat sangat sedih ketika mengetahui anak pertama kami, Rei (saat ini 4 tahun), ditolak masuk di sekolahnya yang sekarang. Tapi sepertinya memang Allah sudah punya rencana lain. Banyak hikmah positif yang bisa diambil dari peristiwa itu. Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, sampai berusaha membuat bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat ahli terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya. Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memberikan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah membuat keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melakukan...

Proses Lebih Penting daripada Hasil (Kaitannya dengan Pola Asuh Anak)

Pola pikir yang lebih mementingkan HASIL ketimbang PROSES sepertinya memang sudah sangat mendarah daging di masyarakat kita. Dari hal kecil yang bisa kita temui sehari-hari, sampai hal besar, semua mencerminkan kalau ‘kita’ memang lebih senang langsung menikmati hasil, tapi enggan atau malas melewati prosesnya. Ini artinya lebih banyak orang yang tidak sabar, cenderung ambil jalan pintas, dan mau gampangnya saja, yang penting hasilnya tercapai. Hasil memang penting, tapi proses untuk mencapai hasil itu lebih penting lagi. Gak percaya? Tidak usah jauh-jauh. Untuk mendapat nilai A di sekolah, banyak cara yang bisa ditempuh. Lebih baik mana, si Ali yang belajar sungguh-sungguh, atau si Mawar yang mendapat nilai atas hasil mencontek? Dua-duanya sama mendapat nilai A. Tapi proses untuk mencapai nilai A itu yang membuat si Ali jauh lebih berkualitas dibanding si Mawar. Di dunia nyata pasti akan kelihatan ketika mereka harus mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki. Memang sudah ...