Langsung ke konten utama

Memutus Mata Rantai: Kebiasaan Menyalahkan Keadaan & Orang Lain

Masih ingat kah apa yang orang tua kita lakukan waktu kita kecil dulu kalau kita menangis akibat terjatuh, terantuk, atau tersandung?

Ya, tentu naluri orang tua adalah langsung menolong dan menghibur agar kita berhenti menangis. Tapi ingatkah apa yang dikatakan untuk menghibur kita?

"Lantainya nakal nih!"
"Pintunya nakal nih!"
"Lemarinya nakal nih!"

Kalau perlu sambil memdramatisasi dengan memukul-mukul lantai atau pintu yang menyebabkan kita menangis tadi.

Di lain kesempatan, jika tidak bendanya yang disalahkan, mungkin pengasuh atau orang yang mendampingi si anak yang dijadikan kambing hitam demi menghibur si anak.

"Mbaknya sih gak lihat."
"Gimana sih si mbak."
"Iya nih mbak."

Entah sejak kapan cara seperti ini dilakukan. Tapi saya melihat cara yang sama persis diterapkan oleh bapak, ibu, dan mertua saya ketika menghibur cucunya yang jatuh dan menangis. Bisa jadi ini cara yang sudah dilakukan turun temurun sejak lama oleh masyarakat kita.

Kelihatannya memang hal yang sepele. Tapi tahukah apa efeknya jika itu sering dilakukan berulang-ulang?

Yang pertama, anak cenderung selalu mencari kambing hitam dan menyalahkan orang lain, kondisi, atau faktor di luar dirinya ketika terjadi kesalahan atau kecelakaan, meskipun itu sebenarnya akibat perbuatannya sendiri.

Kedua, anak bisa tumbuh menjadi orang yang seringkali merasa tidak punya kontrol terhadap apa yang bisa terjadi pada dirinya sendiri dan sekitarnya. Anak cenderung menjadi orang yang cengeng dan mudah meratapi nasib, dan selalu mengharap pertolongan dan bantuan orang lain.

Bayangkan, ternyata sedahsyat itu efeknya. Hal kecil yang tampak sepele, bisa terbawa sampai kita dewasa.

Saya sebagai generasi yang (pastinya) mendapat pola asuh seperti itu, sangat merasakan efeknya sampai sekarang. Jika ada sesuatu yang salah, termasuk celaka atau musibah, secara reflek saya cenderung mencari kesalahan pada orang lain atau faktor di luar diri saya, alih-alih melihat ke diri sendiri dan melakukan introspeksi. Dan jujur kebiasaan itu suliiit sekali dihilangkan, seolah sudah menjadi habit. (Bahkan ketika membuat tulisan ini pun saya berarti menyalahkan orang tua saya dulu yang menyebabkan saya punya habit seperti ini... haha mbulet kalau kata orang Jawa).

Padahal, ketika kita hanya menyalahkan orang lain dan faktor di luar diri kita, itu sama saja menghambat diri kita untuk maju dan berkembang menjadi seseorang yang lebih baik.

Apakah mau anak-anak kita punya sifat seperti itu?

Stephen R. Covey dalam bukunya "7 Habits of Highly Effective People" pun menuliskan, habit pertama yang dibutuhkan untuk menjadi manusia yang efektif adalah introspeksi diri ketika terjadi kesalahan atau peristiwa yang di luar harapan. Ketika kita cuma menyalahkan orang lain, kita menutup perbaikan terhadap diri sendiri dan belum tentu bisa memperbaiki keadaan.

Percayalah bahwa setiap orang punya kontrol dan power terhadap apa yang bisa terjadi, minimal untuk dirinya sendiri.

Kalau tidak mau jatuh, berjalanlah hati-hati dan pelan-pelan, alih-alih menyalahkan lantai yang licin.

Kalau gelas yang kita pegang tidak mau jatuh, pegang lebih erat, alih-alih menyalahkan jika ada yang tidak sengaja menyenggol.

Kalau tidak mau datang terlambat, berangkatlah lebih awal dan cepat, alih-alih menyalahkan jalanan yang macet.

Sesederhana itu sebetulnya.

Hidup kita ada di tangan kita, bukan di tangan orang lain. Kebahagiaan, kesedihan, stres, adalah tergantung bagaimana kita merespon situasi yang terjadi pada diri kita sendiri.

Ini ada hubungannya juga dengan Adversity Quotient (AQ), yaitu kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan. Semua orang tua pasti ingin anaknya punya AQ yang tinggi kan.

Karena itulah saya tidak mau anak-anak saya mempunyai kebiasaan yang sama dalam hal suka menyalahkan keadaan dan orang lain. Saya pasti langsung merengut kalau melihat anak saya mulai menyalah-nyalahkan pengasuhnya atau hal lain ketika dia jatuh, padahal itu akibat perbuatannya sendiri. Saya pasti langsung turun tangan dan meyakinkan bahwa dia sebetulnya bisa, dia punya kontrol, dan itu bukan salah si mbak. Hidupnya ada di tangan dia sendiri, bukan orang lain.

Saya juga kerap mengingatkan mamanya dan pengasuhnya, agar jangan menghibur anak dengan cara yang salah jika anak menangis.

Apakah kebiasaan suka menyalahkan orang lain ini yang membuat masyarakat kita menjadi minim empati dan susah maju? Bisa jadi.

Tapi semuanya memang harus dimulai dari orang tua lebih dahulu. Sekarang, minimal saya menyadari bahwa sebelumnya saya punya sifat buruk seperti itu, dan oleh karena itu berusaha berubah. Dan sekarang saya ingin memutus mata rantai itu dan menanamkan nilai-nilai baru yang positif kepada anak saya.

Sebagai orang tua, saya mengemban misi mendidik anak, bukan hanya sekedar membesarkan mereka, dan bukan hanya sekedar yang penting beres.

Jadi, mari kita berubah, demi masa depan anak-anak kita, dan demi masa depan bangsa dan negara kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Tangki Cinta Anak

Ini adalah tulisan yang saya rangkum dari Bab 1-2 buku "Hypnotherapy for Children" karya Adi W. Gunawan, seorang ahli hipnoterapi. Penjelasan teori dalam buku tersebut banyak membukakan mata saya mengenai apa yang sebenarnya menjadi "akar permasalahan" ketika perilaku anak kita bermasalah. Ini sangat membantu saya memahami anak dan bagaimana saya harus bersikap dan memperlakukan anak. Bagi saya ini bukan hanya sekedar teori. Tidak ada yang mengatakan menjadi orang tua itu gampang, tapi tidak ada yang mustahil untuk ditangani selama kita berpikir positif. Karena itu saya pribadi selalu membaca dan membekali diri saya dengan ilmu parenting sebanyak-banyaknya, sambil tidak lupa selalu melakukan introspeksi diri dan open-minded , yaitu berusaha tidak menyangkal jika ada masalah dan mengakui jika kita melakukan kesalahan. Jika orang tua selalu dalam posisi  denial , sesungguhnya anak juga lah yang akan jadi korban, dan itu akan menjadi bumerang bagi orang tuanya se...

Cerita Setelah 4 Bulan Sekolah di Preschool HS

Tahun lalu kami sempat sangat sedih ketika mengetahui anak pertama kami, Rei (saat ini 4 tahun), ditolak masuk di sekolahnya yang sekarang. Tapi sepertinya memang Allah sudah punya rencana lain. Banyak hikmah positif yang bisa diambil dari peristiwa itu. Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, sampai berusaha membuat bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat ahli terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya. Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memberikan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah membuat keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melakukan...

Proses Lebih Penting daripada Hasil (Kaitannya dengan Pola Asuh Anak)

Pola pikir yang lebih mementingkan HASIL ketimbang PROSES sepertinya memang sudah sangat mendarah daging di masyarakat kita. Dari hal kecil yang bisa kita temui sehari-hari, sampai hal besar, semua mencerminkan kalau ‘kita’ memang lebih senang langsung menikmati hasil, tapi enggan atau malas melewati prosesnya. Ini artinya lebih banyak orang yang tidak sabar, cenderung ambil jalan pintas, dan mau gampangnya saja, yang penting hasilnya tercapai. Hasil memang penting, tapi proses untuk mencapai hasil itu lebih penting lagi. Gak percaya? Tidak usah jauh-jauh. Untuk mendapat nilai A di sekolah, banyak cara yang bisa ditempuh. Lebih baik mana, si Ali yang belajar sungguh-sungguh, atau si Mawar yang mendapat nilai atas hasil mencontek? Dua-duanya sama mendapat nilai A. Tapi proses untuk mencapai nilai A itu yang membuat si Ali jauh lebih berkualitas dibanding si Mawar. Di dunia nyata pasti akan kelihatan ketika mereka harus mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki. Memang sudah ...