Ternyata banyak hal-hal yang selama ini
dianut dan dipahami oleh orang tua dalam hal mengasuh anak adalah pemahaman atau mitos yang salah. Celakanya, mitos-mitos tersebut sedikit
banyak menghambat perkembangan anak, bahkan bisa sangat merugikan. Selama lebih dari 3 tahun menjadi seorang ayah, hal-hal tersebut satu per satu mulai terungkap. Dari
hasil pengalaman pribadi dengan anak saya sendiri, dan juga hasil mengumpulkan
info dari sana sini, saya menyimpulkan hal-hal di bawah ini adalah pemahaman atau
mitos yang salah.
1. Bayi harus mulai makan
banyak menginjak usia 6 bulan
Mitos: Ketika bayi menginjak usia 6 bulan, bayi harus mulai makan banyak karena asupan ASI sudah tidak cukup lagi memenuhi gizi anak.
Fakta: Sampai anak
berumur 8-9 bulan, asupan utama anak masihlah ASI. Tujuan pemberian makanan
pada umur 6 bulan hanya baru untuk mengenalkan makanan dan agar anak beradaptasi
dengan makan, termasuk pencernaannya. Memang ada kebutuhan gizi tambahan, tapi yang utama masih tetap
ASI. Karena itu sampai umur 8-9 bulan, anak belum butuh makan banyak. Tidak perlu terlalu khawatir jika anak masih sedikit makannya. Jika ASI
tidak dimungkinkan, maka susu formula yang menjadi pengganti.
Efek negatif dari mitos
ini:
- Pencernaan anak kerap belum siap ketika harus langsung makan banyak di umur 6 bulan. Saya sendiri punya pengalaman buruk dengan anak pertama. 2 hari pertama makan, anak tiba-tiba demam. Ternyata ada radang di pencernaannya karena “dipaksa” langsung makan banyak.
- Mungkin ada beberapa ibu yang serta merta mengurangi pemberian ASI ke anak ketika menginjak usia 6 bulan. Padahal gizi dari ASI masih sangat dibutuhkan dan menjadi asupan utama sampai umur 9 bulan.
2. Bayi harus makan puree sampai umur 1 tahun
Mitos: Bayi harus memulai fase makan dengan puree, yaitu
makanan yang dilembutkan seperti bubur, sampai dia berumur 1 tahun, karena anak
masih belum mempunyai kemampuan untuk mengunyah dan menelan makanan bertekstur
kasar.
Fakta: Pemberian
puree dengan cara menyuapi bayi ternyata bukanlah satu-satunya cara memberi
makan bayi, bahkan bisa dibilang bukan cara yang terbaik. Sekarang mulai populer
metode pemberian makan Baby-led Weaning (BLW), yaitu dengan memberi makanan
utuh kepada anak tanpa dihaluskan, dan membiarkannya makan sendiri dengan
tangan, tanpa intervensi dari orang tua atau pengasuhnya. Anaklah yang menentukan sendiri bagaimana, apa, dan seberapa banyak dia makan. Justru cara ini memberikan banyak efek positif kepada anak. Dari mulai melatih motoriknya, melatih
kemampuan makannya, melatih kemandirian, sampai membuat anak menyukai berbagai jenis makanan termasuk buah dan sayuran. Metode ini juga baik untuk perkembangan
otaknya, karena ketika makan, anak seolah seperti bermain sehingga anak senang
melakukannya. Para ahli juga mengatakan BLW dapat menekan kecenderungan anak
menjadi picky eater.
Efek negatif dari mitos
ini:
- Anak jadi tidak bisa mengukur dan megontrol sendiri rasa kenyangnya karena selalu disuapi dan cenderung “dipaksa” menghabiskan makanan setiap kali makan. Akibatnya anak cenderung makan lebih banyak dari yang dia butuhkan. Ini berpotensi membuat anak menjadi obesitas di kemudian hari karena terbiasa makan banyak. WHO melaporkan ada lebih dari 42 juta anak balita di seluruh dunia mengalami obesitas pada tahun 2013.
- Kemampuan makan anak jadi terlambat berkembang. Jika ada anak di atas 1 tahun masih sering tersedak makanan, itu bukan semata-mata karena si anak belum siap makanan bertekstur kasar, tapi karena anak kurang dilatih. Metode pemberian makan dengan selalu disuapi juga menyumbang efek negatif dalam hal ini, karena anak tidak pernah diberi kesempatan menakar sendiri ukuran makanan yang tidak akan membuatnya tersedak. Pengalaman pribadi, anak pertama masih sering tersedak sampai umur 3 tahun, karena memang sewaktu kecil, fase pemberian puree-nya dilakukan sampai umur 1 tahun lebih, karena khawatir dia belum siap dan makannya jadi sedikit. Juga karena makannya selalu disuapi, sehingga otomatis ukuran makanan yang masuk ke mulut tergantung siapa yang menyuapi. Ternyata hal itu justru menghambat perkembangan kemampuan makannya yang seharusnya perlu dilatih.
- Anak jadi membenci makanan tertentu dan cenderung curiga dan malas mencoba jenis makanan baru. Ini karena anak biasa disuapi, bahkan kerap “dipaksa”, melahap makanan yang diberikan tanpa ada kesempatan memilih dan mengksplorasi makanan sendiri. Jika makanan yang disuapi ternyata tidak dia suka, sang pengasuh biasanya berusaha tetap memasukkan makanan itu ke anak, akibatnya si anak cenderung akan membenci makanan tersebut hingga dia besar nanti. Ini juga yang membuat anak hingga besar selalu curiga jika diberi jenis makanan baru. Hal ini sudah terjadi pada anak pertama saya yang hanya suka makanan itu-itu saja, dan sulit sekali membuat dia mau mencoba jenis makanan baru. Satu-satunya makanan yang dari kecil sampai sekarang dia sangat suka adalah kerupuk, karena sejak pertama dikenalkan dia sudah diperbolehkan untuk memegang dan memasukkan sendiri ke mulutnya.
- Perkembangan motorik anak, terutama yang menyangkut otot rahang dan mulut, juga bisa menjadi terlambat. Efeknya anak bisa jadi terlambat bicara, atau bicaranya kurang jelas. Ini juga pengalaman pribadi saya dengan anak pertama, sampai kami akhirnya memutuskan memasukkan anak ke terapi wicara.
3. Balita harus minum susu sapi
Mitos: Banyak ibu-ibu yang menganggap susu sapi adalah makanan wajib dan terbaik bagi balita. Karena itu selepas fase ASI ekslusif banyak yang kemudian sibuk memilih-milih dan mencoba susu formula atau UHT untuk diberikan pada anaknya. Pasti kita juga sering mendengar perkataan ini: “Tidak apa-apa tidak mau makan, yang penting minum susu.” Atau “Tidak apa-apa makannya sedikit, yang penting minum susunya banyak.”
Fakta: Susu yang
terbaik bagi anak ketika bayi hanyalah ASI, dan tidak ada kewajiban anak balita
harus minum susu sapi (formula atau UHT) atau mendapat tambahan susu sapi selepas dari ASI eksklusif. Pemberian susu sapi dalam jumlah banyak justru tidak baik bagi anak. Konon kandungan kalsium tinggi dalam
susu sapi sebetulnya bukan kalsium yang mudah diserap oleh tubuh manusia, dan
malah bisa menumpuk menjadi racun karena tidak terpakai oleh tubuh. Untuk
memenuhi kebutuhan kalsium, lebih baik mengandalkan sayur-sayuran hijau dan buah-buahan. Saya
pernah menuliskan artikelnya di SINI.
Efek negatif mitos ini:
- Anak jadi mudah sakit. Seperti disebutkan di atas, kandungan dalam susu sapi justru banyak menjadi “sampah” dalam tubuh manusia. Daya tahan tubuh anak jadi turun karena tubuhnya sibuk membersihkan "sampah" yang menumpuk tersebut. Pengalaman dengan anak pertama saya, anak lebih tahan dari penyakit begitu minum susu sapinya dikurangi drastis. Dari yang tadinya lebih dari 1 liter sehari, menjadi hanya seperempatnya. Dari yang tadinya hampir sebulan sekali sakit, sekarang sudah lebih dari 5 bulan tidak pernah sakit lagi. Bahkan ketika di rumah ada yang sakit flu pun, dia tidak serta merta tertular seperti sebelumnya.
- Masih berhubungan dengan poin di atas, hal tersebut juga dapat memicu alergi pada anak. Jika anak menderita alergi, coba distop atau minimal dikurangi konsumsi susu sapinya.
- Anak tidak doyan makan. Sebetulnya bukan tidak apa-apa tidak mau makan yang penting minum susu, tapi terbalik, anak mungkin tidak doyan makan karena sudah kebanyakan minum susu. Kasus anak pertama saya, dia lebih senang minum susu ketimbang makan, mungkin juga karena dia merasa minum susu lebih mudah, gampang, dan nyaman (karena memakai dot), dan dia tetap merasa kenyang.
- Konon berdasarkan penelitian, konsumsi susu sapi dalam jangka panjang bisa meningkatkan resiko terkena kanker.
Pengalaman memang guru yang terbaik. Hal-hal di atas adalah bagian dari pengalaman pribadi mengikuti pola asuh jaman dulu. Sayangnya ketika anak pertama saya lahir, saya masih belum paham sebaik/seburuk apa polah asuh tersebut, sehingga masih selalu berpikir positif. Untuk anak kedua, saya ingin semuanya bisa diubah. Memang perlu gebrakan dan keberanian untuk melawan mitos-mitos tersebut. Semoga berhasil.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar