Ternyata banyak hal-hal yang selama ini dianut dan dipahami oleh orang tua dalam hal mengasuh anak adalah pemahaman atau mitos yang salah. Celakanya, mitos-mitos tersebut sedikit banyak menghambat perkembangan anak, bahkan bisa sangat merugikan. Selama lebih dari 3 tahun menjadi seorang ayah, hal-hal tersebut satu per satu mulai terungkap. Dari hasil pengalaman pribadi dengan anak saya sendiri, dan juga hasil mengumpulkan info dari sana sini, saya menyimpulkan hal-hal di bawah ini adalah pemahaman atau mitos yang salah.
Ini merupakan sambungan dari Part 1
Ini merupakan sambungan dari Part 1
4. Picky eater adalah keturunan dan tidak
bisa dicegah
Mitos: Sifat picky eater atau pilih-pilih makanan
adalah keturunan dan tidak bisa dicegah. Kalau orang tuanya dulu cenderung picky eater, ada kemungkinan anaknya pun
demikian.
Fakta: Menurut
penelitian, memang ada gen yang menentukan seberapa toleran seseorang dalam
menerima suatu rasa tertentu (misalnya rasa pahit). Gen ini disebut dapat mempengaruhi
kecenderungan seseorang untuk menjadi picky
eater. Tapi gen tersebut bukan semata-mata menjadi penyebabnya. Picky eater juga banyak dipengaruhi oleh
lingkungan dan pengalaman seseorang dalam hidupnya, yang bahkan pada akhirnya
bisa mengesampingkan gen tersebut.
Kabar baiknya adalah, ini
berarti sifat picky eating bisa
ditekan atau bisa dihilangkan melalui lingkungan dan pengalaman yang dijalani.
Contohnya, orang yang tidak suka sayuran, bisa saja berubah jadi suka jika
sering ditawarkan menu sayuran, atau jika kondisi membuat dia akhirnya dengan
sukarela mau makan sayuran. Anak kecil pun konon butuh belasan kali dicoba ditawarkan
makanan yang awalnya tidak disukai, sampai akhirnya dia beradaptasi dengan
makanan tersebut dan menjadi suka, asalkan jangan dipaksa.
Di situlah kuncinya.
Kesimpulannya, berarti kita bisa menekan timbulnya sifat picky
eating dengan cara menghadirkan pengalaman makan yang menyenangkan bagi
anak sejak dia bayi, yang membuat dia mau dengan suka rela makan berbagai macam
makanan.
Pemberian puree dengan cara menyuapi bayi
cenderung menimbulkan trauma-trauma tertentu pada anak, dan efeknya anak bisa
jadi membenci makanan-makanan tertentu, dan akhirnya menjadi picky eater, bahkan sampai dia dewasa.
Ini karena:
- Ketika anak tidak mau menerima makanan yang disuapi, biasanya pengasuh akan tetap berusaha memasukkan makanan tersebut ke mulut si anak dengan berbagai cara, bahkan dengan “memaksa”.
- Menyuapi berarti mengkondisikan anak berada dalam posisi pasif dan tidak punya kontrol akan apa dan seberapa banyak makanan yang bisa masuk ke mulutnya. Hal ini justru rentan membuat anak jadi mudah tersedak dan muntah, karena dengan menyuapi puree berarti membuat makanan langsung meluncur ke tenggorokan. Apalagi ukuran makanan yang masuk sangat tergantung pada siapa yang menyuapi.
Kedua hal di
atas adalah pengalaman yang tidak menyenangkan bagi anak. Bayangkan,
kondisi itulah yang harus dihadapi si anak setiap hari selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Saya sangat
terusik dengan begitu banyaknya picky
eater dalam lingkungan keluarga saya. Dari mulai kakak-kakak saya, sampai
keluarga istri saya. Pasti ada sesuatu yang salah. Dan saya sadar ada satu
kesamaan pada mereka, yaitu mereka mendapat pola asuh yang sama ketika bayi, yakni
disuapi dengan puree.
Saya pun dulunya
sangat picky eater sampai dewasa.
Tapi sifat itu mulai hilang ketika saya kuliah dan harus kos jauh dari orang
tua. Otomatis hidup harus lebih hemat dan prihatin. Saya pun mulai secara sadar
dan sukarela makan makanan yang tadinya tidak saya sukai. Dan sekarang saya
bisa makan segalanya. Ini artinya sifat picky
eating BISA hilang, dan itu karena lingkungan dan pengalaman yang pernah
saya lalui. Di sisi lain, sifat picky eating
pada kakak saya belum hilang sampai sekarang, mungkin karena belum pernah menjalani
pengalaman yang bisa membuatnya dengan sukarela makan segalanya.
Lalu bagaimana
solusinya? Baby-led Weaning (BLW)
bisa menjadi solusinya. Saya sendiri percaya metode pemberian puree dengan menyuapi anak adalah metode
yang sudah obsolete. BLW memberikan
pengalaman makan yang menyenangkan bagi anak, karena anak bisa mengeksplorasi
makanannya sendiri serta menentukan apa, bagaimana, dan seberapa banyak dia
makan.
Inilah kenapa
salah satu makanan yang anak saya paling suka dari bayi sampai sekarang adalah
kerupuk. Ini karena makanan itulah yang sejak awal dikenalkan kepadanya
dilakukan dengan pendekatan “BLW” (dalam arti dia boleh memegang dan
memasukkannya sendiri ke dalam mulut). Terbukti kan!
Metode puree memang membuat progres awal makan
bayi jadi cepat, tapi bisa menjadi bencana untuk perkembangan si anak 10-20
tahun ke depan, karena kecenderungan menjadi picky eater. Orang tua pun pusing dibuatnya.
Sebaliknya, saya
perkirakan progres makan bayi BLW akan sangat lambat di awal-awal, tapi bisa
menjadi modal yang sangat baik sampai dia dewasa, yaitu dalam hal menaklukkan
berbagai jenis makanan termasuk buah dan sayur-sayuran. Orang tua pun happy kalau anaknya suka buah dan
sayuran.
Jadi, pilih yang
mana?
5. Bayi dan batita tidak bisa
diajak komunikasi
Mitos: Bayi belum bisa
diajak bicara dan diberi tahu, karena bayi belum mengerti bahasa. Bayi hanya
bisa kita ajak bermain, dan kita tenangkan jika menangis. Jika anak suka rewel
atau menangis, itu di luar kendali kita. Orang tua hanya bisa bereaksi dengan
menenangkan dan menghiburnya.
Fakta: Bayi sangat
bisa diajak berkomunikasi, bahkan sejak dalam kandungan. Hanya memang ada trik
dan caranya, tidak seperti berkomunikasi dengan orang dewasa. Inilah gunanya
ilmu Hypno-parenting yang pernah saya tulis pada artikel Hypno-parenting, Apakah Itu?. Intinya adalah,
kita harus berkomunikasi dengan Bahasa positif (tidak menggunakan kata negatif
seperti “jangan”, “tidak boleh”, “tidak”, dst.). Saya sudah membuktikannya
berkali-kali.
Efek negatif dari mitos
ini:
- Orang tua kerap hanya reaktif terhadap kondisi anaknya, misal jika anak menangis, ketakutan, atau rewel, dan tidak tahu cara mencegahnya.
- Orang tua sering terpicu temperamennya dan marah pada si anak karena bingung bagaimana cara menghadapi anak dengan benar. Padahal anak balita sebaiknya tidak dimarahi, apalagi sampai dibentak.
- Ketika anak masih bayi atau batita, orang tua kerap mengambil jalan pintas dengan membohongi si anak, misalnya menggunakan pahit-pahitan ketika sedang menyapih dari ASI.
Memang
hypno-parenting bukan berarti solusi dari segalanya dan tidak selalu 100%
berhasil. Tapi ilmu ini sangat membantu.
Satu contoh
Pengalaman pribadi saya. Ketika anak saya berumur 1 tahunan dan mulai mengenal
orang-orang terdekatnya, dia cenderung takut jika diajak ke tempat keramaian dan
bertemu banyak orang, seperti misalnya di pesta pernikahan.
Suatu ketika
kami ajak dia ke undangan pernikahan tanpa memberitahu dia. Di sana dia rewel
dan sama sekali tidak mau ditegur siapa pun, bahkan sekedar salam, dan inginnya
selalu mengajak ke luar gedung.
Belajar dari kejadian
di atas, di hari lain ketika mengajaknya ke pesta pernikahan, sebelum berangkat
saya berkata kepadanya,
“Rei, nanti kita
mau ke kawinan teman papa, di sana banyak om dan tante teman papa. Nanti Rei
senyum aja ya, yang berani, kalau diajak salam mau, yang anteng duduk.”
Dan eng ing eng…
benar saja, tepat itulah kondisi dia selama di sana. Menakjubkan kan!
Perhatikan bahwa saya tidak menggunakan kata-kata negatif seperti "Jangan nangis", "Jangan takut", "Jangan rewel". Tapi semuanya adalah kalimat positif.
Saya juga sudah
membuktikan ketika menyapih dari ASI. Saya keukeuh
tidak mau pakai cara istri saya menggunakan pahit-pahitan. Yang saya lakukan
adalah memberi sugesti positif setiap malam. Saya bilang,
“Rei sudah
besar, kalau minum susu pakai botol aja ya. Kalau mau bobo langsung bobo aja,
nanti dipuk-puk sama mama atau papa,
lebih enak.”
Dan
Alhamdulillah, dalam 3 minggu Rei sudah lepas dari ASI, tanpa nangis-nangis,
dan tanpa merusak bonding dengan
mamanya.
Komentar
Posting Komentar