Langsung ke konten utama

Hypno-parenting, Apakah Itu?

Mau share sedikit tentang Hypnoparenting...

Mungkin banyak orang tua yang kerap merasa anaknya sulit sekali diajak bekerja sama dan berkomunikasi. Sudah dilarang berulang kali, tapi si anak masih tetap saja melakukannya. Ujung-ujungnya orang tua menganggap anaknya susah diatur dan nakal. Sejatinya, tidak ada anak yang nakal, hanya saja mereka belum mengerti. Yang ada adalah mungkin cara berkomunikasi orang tua ke anak yang selama ini salah. Hypno-parenting comes to the rescue :)

Teorinya, manusia itu 88% pikirannya dikendalikan oleh pikiran bawah sadar, dan hanya 12% saja dikendalikan oleh pikiran sadar. Pikiran sadar terdiri dari fungsi analitikal, rasional, memori jangka pendek, dan kemauan. Sementara pikiran bawah sadar berisi kepercayaan (belief), nilai (value), kebiasaan, memori jangka panjang, kepribadian, intuisi, dan persepsi.

Pikiran sadar sendiri baru terbentuk sejak manusia berumur 3 tahun, dan
baru benar-benar berfungsi optimal di usia 13 tahun (bukan angka eksak). Anak umur di bawah 3 tahun secara teori masih sepenuhnya dikendalikan pikiran bawah sadar, karena itu jarang sekali orang yang secara sadar ingat pengalaman-pengalaman yang pernah dialami di rentang umur 0 - 3 tahun, meskipun apa yang dialami di masa itu terbawa terus sampai dewasa (misal: takut dengan kecoa, takut dengan kucing karena trauma masa kecil).

Oleh karena pikiran bawah sadar jauh lebih mendominasi manusia, maka cara paling efektif untuk mempengaruhi seseorang adalah dengan memasuki pikiran bawah sadarnya. Apalagi ketika kita berurusan dengan anak kecil. Sesuai teori yang disebutkan di atas tadi, maka berkomunikasi dan mengendalikan seorang anak kecil sama saja dengan berkomunikasi dengan pikiran bawah sadarnya. Di sinilah hypno-parenting berperan.

Hypno-parenting sendiri adalah metode parenting yang menjabarkan aturan-aturan main mengenai cara berkomunikasi yang efektif dengan anak. Ini merupakan salah satu aliran positive parenting. Jangan membayangkan bahwa ini artinya orang tua setiap kali harus menghipnotis anaknya seperti yang sering kita tonton di televisi. Bukan sama sekali. Ini jauh lebih sederhana dari yang sering kita tonton di tv, bahkan tidak butuh skill khusus dari orangtua. Hanya memang butuh kesabaran, konsistensi, dan semangat untuk terus belajar dari orang tua dalam menerapkannya.

Aturan hypno-parenting secara garis besar menurut saya terdiri dari dua:

1. Gunakan selalu kalimat atau kata2 positif ketika kita ingin anak melakukan sesuatu, bahkan ketika kita mau melarangnya.

Kalimat positif di sini artinya adalah kalimat yang tidak mengandung kata2 negatif seperti: "jangan", "tidak", "bukan", "tidak boleh", dst. Ini karena pikiran bawah sadar tidak mengenal kata2 negatif. Artinya ketika kita berkata kepada anak "Jangan lari!", maka kata yang ditangkap oleh pikiran bawah sadar anak hanyalah "Lari", dan kata "Jangan" akan diabaikan. Dan bisa ditebak hasilnya, anak justru akan berlari. Ini sama saja ketika seseorang berkata kepada kita "Jangan membayangkan kucing". Ketika kita mendengar kata "kucing" tentu sosok binatang kucing langsung terbersit dalam pikiran kita.

Lalu bagaimana cara kita melarang anak? Kuncinya adalah fokus pada hal yang kita ingin ANAK LAKUKAN, BUKAN hal yang kita ingin ANAK TIDAK LAKUKAN.

Contoh:
Selain mengatakan "Jangan lari", yang seharusnya kita katakan adalah "Jalan saja ya".
Ketika kita ingin anak bersikap baik, kita bukan berkata "Kamu jangan nakal ya", tapi seharusnya "Kamu jadi anak baik ya".
Ketika anak mengambil barang yang tidak kita inginkan, kita bukan berkata "Tidak boleh ambil barang itu", tapi seharusnya "Biarkan saja barang itu di atas meja"
Dan seterusnya.

2. Ada waktu2 tertentu yang efektif untuk menyampaikan atau memasukkan ide pikiran kita kepada anak.

Seperti disebutkan di atas, hypno-parenting tidak membutuhkan skill hipnotis khusus dari orangtua. Selain cara komunikasi ke anak sehari-hari, cara lainnya adalah dengan mengetahui kapan saat-saat yang tepat untuk memasukkan ide pikiran kita, disebut juga sugesti, kepada anak, yaitu:

Ketika anak mau tidur atau baru terbangun dari tidur. Konon dalam kondisi ini anak memasuki fase yang dinamakan gelombang beta, yaitu transisi antara kondisi sadar penuh dan tertidur nyenyak. Saat inilah saat paling tepat untuk memasukkan sugesti ke anak. Dalam kondisi ini, sugesti akan mudah masuk ke pikiran bawah sadar anak.
Ketika anak sedang asyik dengan dirinya sendiri. Contohnya ketika anak sedang bermain, sedang menonton televisi, dsb. Sambil anak asyik bermain, kita bisa dekati dan coba masukkan sugesti ke anak.
Pastikan anak dalam kondisi senang atau tidak dalam keadaan bersusah hati ketika kita mau memasukkan sugesti ke anak. Jika anak sedang menangis atau sedang sakit, akan susah sekali sugesti masuk ke pikiran bawah sadar anak.


Aturan main no. 1 mutlak dilakukan kapanpun dan dalam kondisi apapun ketika berkomunikasi dengan anak. Ingat, berkomunikasi dengan anak sama saja berkomunikasi dengan pikiran bawah sadarnya. Saya pun senantiasa mempraktekkan hal ini, dan saya melihat perbedaan yang cukup jelas dibanding jika kita selalu berkata “jangan” kepada anak.

Aturan main no. 2 bisa sangat berguna jika kita ingin ada perubahan yang besar pada diri anak (namun untuk hal2 kecil lainpun juga sangat bermanfaat). Saya dan istri mempraktekkannya ketika menyapih anak dari ASI. Hasilnya, sukses tanpa melalui tangisan dan rengekan, meskipun memang butuh waktu (waktu itu sekitar 3 minggu).

Tapi perlu diingat, bahwa bukan berarti kita bisa mengharapkan perubahan instan terjadi pada anak. Seperti telah disebutkan di depan, metode ini butuh konsistensi, kesabaran, dan kemauan untuk terus belajar dari orang tua. Ini bukan sulap atau hocus pocus, tapi sesuatu yang ilmiah. Saya sendiri sebagai orang tua masih banyak kekurangan dalam menerapkannya, dan tidak selalu 100% mulus. Yang penting kita mau belajar dari pengalaman, dan berusaha lebih baik ke depannya.

Selamat mencoba… dan silakan nantikan keajaiban2 kecil yang akan terjadi :)

Diambil dari: pengalaman pribadi dan berbagai sumber

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Tangki Cinta Anak

Ini adalah tulisan yang saya rangkum dari Bab 1-2 buku "Hypnotherapy for Children" karya Adi W. Gunawan, seorang ahli hipnoterapi. Penjelasan teori dalam buku tersebut banyak membukakan mata saya mengenai apa yang sebenarnya menjadi "akar permasalahan" ketika perilaku anak kita bermasalah. Ini sangat membantu saya memahami anak dan bagaimana saya harus bersikap dan memperlakukan anak. Bagi saya ini bukan hanya sekedar teori. Tidak ada yang mengatakan menjadi orang tua itu gampang, tapi tidak ada yang mustahil untuk ditangani selama kita berpikir positif. Karena itu saya pribadi selalu membaca dan membekali diri saya dengan ilmu parenting sebanyak-banyaknya, sambil tidak lupa selalu melakukan introspeksi diri dan open-minded , yaitu berusaha tidak menyangkal jika ada masalah dan mengakui jika kita melakukan kesalahan. Jika orang tua selalu dalam posisi  denial , sesungguhnya anak juga lah yang akan jadi korban, dan itu akan menjadi bumerang bagi orang tuanya se...

Cerita Setelah 4 Bulan Sekolah di Preschool HS

Tahun lalu kami sempat sangat sedih ketika mengetahui anak pertama kami, Rei (saat ini 4 tahun), ditolak masuk di sekolahnya yang sekarang. Tapi sepertinya memang Allah sudah punya rencana lain. Banyak hikmah positif yang bisa diambil dari peristiwa itu. Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, sampai berusaha membuat bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat ahli terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya. Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memberikan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah membuat keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melakukan...

Proses Lebih Penting daripada Hasil (Kaitannya dengan Pola Asuh Anak)

Pola pikir yang lebih mementingkan HASIL ketimbang PROSES sepertinya memang sudah sangat mendarah daging di masyarakat kita. Dari hal kecil yang bisa kita temui sehari-hari, sampai hal besar, semua mencerminkan kalau ‘kita’ memang lebih senang langsung menikmati hasil, tapi enggan atau malas melewati prosesnya. Ini artinya lebih banyak orang yang tidak sabar, cenderung ambil jalan pintas, dan mau gampangnya saja, yang penting hasilnya tercapai. Hasil memang penting, tapi proses untuk mencapai hasil itu lebih penting lagi. Gak percaya? Tidak usah jauh-jauh. Untuk mendapat nilai A di sekolah, banyak cara yang bisa ditempuh. Lebih baik mana, si Ali yang belajar sungguh-sungguh, atau si Mawar yang mendapat nilai atas hasil mencontek? Dua-duanya sama mendapat nilai A. Tapi proses untuk mencapai nilai A itu yang membuat si Ali jauh lebih berkualitas dibanding si Mawar. Di dunia nyata pasti akan kelihatan ketika mereka harus mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki. Memang sudah ...