Rhenald Kasali ternyata pernah gak naik kelas waktu sekolah dulu. Begitu juga Dimas Jayadiningrat. Tapi mereka tetap bisa menjadi orang sukses. Kenapa bisa begitu? Ini jadi menimbulkan pertanyaan. Apakah nilai akademik adalah segalanya? Atau ada hal lain yang lebih penting dalam pendidikan? Indonesia punya Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, dengan gagasan tentang pendidikannya yang luar biasa. Konon sistem pendidikan di Finlandia yang terkenal maju justru sejalan dengan gagasan beliau. Ironisnya, pendidikan di Indonesia sendiri sangat jauh dari itu. Ajaran "Tut Wuri Handayani" lebih sering jadi slogan belaka daripada kenyataan. Sebagai orang yang pernah mengalami pahitnya mengejar nilai akademik ketika sekolah dulu, namun menyadari ternyata kenyataan tidak seindah harapan, dan sekarang menjadi ortu yang sedang berjuang memberikan pendidikan terbaik buat anak-anak sendiri, saya selalu tertarik dengan hal-hal yang memberi wawasan baru tentang pendidikan. Harapan mas...
Sedih sekali memang melihat kenyataan rendahnya minat baca di Indonesia. Apalagi di era medsos seperti sekarang. Orang merasa semua "pengetahuan" sudah terpenuhi dari video-video pendek yang bertebaran di instagram, tiktok, whatsapp, youtube, dsb. Itu semua seolah sudah dianggap sebagai sumber "kebenaran". Membuat semakin malas orang untuk mencari tahu dan melakukan riset sendiri atas segala sesuatunya. Agak gregetan melihat kebiasaan orang kita yang malas membaca, tapi merasa dirinya yang paling tahu. Saya yang suka membaca sejak kecil jadi merasa seperti orang yang aneh. Bahkan saya pernah didebat bahwa tanpa membaca pun orang bisa tahu banyak. Apa iya? Jujur saya bingung, tidak punya jawaban saklek, apalagi saya bukan orang yang pandai meyakinkan orang lain. Tapi ada satu fakta yang orang harus tahu. Di bawah ini adalah negara-negara yang masyarakatnya punya minat baca paling rendah di dunia: Nigeria Mali Sudan Afghanistan Guinea Chad Burkina Faso Ethiopia Hait...