Langsung ke konten utama

Bagaimana Cara Mengatasi Anak Yang Tiba-Tiba Merengek Minta Dibelikan Sesuatu Yang Tidak Perlu?

Jawabannya bisa bermacam-macam, tergantung usia anak.

Ini pengalaman saya dengan 3 anak lelaki saya yang masih kecil-kecil.

Ketika Anak Masih Sangat Kecil

Ketika anak masih sangat kecil dan belum bisa diajak berkomunikasi 2 arah (misalnya usia 1–3 tahun) ini strategi saya:

  • Kalau pergi ke swalayan atau toko bersama anak, saya tidak membiasakan selalu membelikan mereka sesuatu, kecuali kalau tujuannya memang untuk berbelanja kebutuhan mereka. Kalau sekedar dia mau menemani saya pergi saja, ya saya belanja sesuai kebutuhan saja.
  • Ketika sedang di toko, jika anak mengambil sesuatu dari rak, saya akan membiarkannya, saya anggap dia hanya ingin bereskplorasi saja, bukan berarti saya wajib membelikannya. Ketika belanja sudah selesai, saya minta dia untuk mengembalikannya, atau saya pisahkan barangnya. Lebih baik seperti itu daripada langsung kita larang, karena kalau langsung kita larang justru anak malah bisa ngambek dan akhirnya malah memaksa kita untuk membeli.
  • Kalau memang terjadi anak memaksa untuk minta dibelikan sesuatu sampai menangis dan merengek-rengek, jika memang kita tidak bisa membelikannya (karena alasan apapun), saya tidak pernah lantas mengabulkan keinginannya hanya supaya dia diam dan tidak menangis lagi. Saya akan ajak dia menjauh dari yang dia inginkan, dan saya akan berusaha tenangkan dia. Sambil saya gendong atau pangku, kira-kira saya akan berkata seperti ini "Iya papa tahu kamu pengen banget ya permen itu, kamu sedih dan marah karena gak bisa mendapatkannya (ini tahap acknowledge the feeling). (Lalu kita jelaskan masalahnya) Masalahnya gigi kamu lagi sakit, nanti kalau makan permen bisa sakit lagi. Mau gak kalau giginya makin sakit? (Lalu kita kasih solusi) Nanti ya kalau gigi kamu udah gak sakit lagi kita bisa beli ya." Biasanya sambil saya elus-elus kepala sampai punggungnya, dan tunggu saja sampai ia tenang. Lalu kita cari sesuatu yang kira-kira bisa membuat perhatiannya teralih ke hal lain yang menyenangkan. Memang ini butuh effort dan kesabaran khusus, tapi ini punya efek jangka panjang yang jauh lebih baik, ketimbang langsung mengabulkan keinginannya begitu saja. Jika kita mengabulkan keinginannya, mungkin anak akan segera berhenti menangis dan masalah tampak beres saat itu juga, tapi efek negatifnya lebih susah untuk diperbaiki, apalagi jika itu lantas menjadi kebiasaan.

Mengapa sebaiknya kita tidak langsung mengabulkan keinginan anak jika dia merengek-rengek dan menangis? Banyak alasannya:

  • Pertama, anak memang belum tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Tugas orang tualah untuk mengarahkannya ke hal yang baik. Dan ini butuh ketegasan dari orang tua (ingat, tegas bukan berarti galak, suka ngomel, atau suka marah lho ya).
  • Anak kecil itu pintar sekali mengamati kebiasaan. Jika dia tahu bahwa setiap kali dia menangis permintaannya akan dikabulkan, maka besok-besoknya jika keinginan dia tidak dituruti maka dia akan selalu mengeluarkan senjata pamungkasnya itu.
  • Anak menangis karena memang dia belum bisa mengontrol emosi dan keinginannya. Lagi-lagi tugas orang tuanyalah untuk melatihnya. Tentu ini butuh waktu. Tapi jika kita selalu menyerah begitu saja terhadap rengekan si anak, otomatis si anak jadi tidak pernah punya kesempatan untuk belajar dan melatih emosinya. Mungkin pada saat kejadian kita merasa kasihan melihat dia menangis, tapi sebetulnya lebih kasihan lagi jika dia tumbuh menjadi orang yang tidak bisa mengontrol emosinya sendiri.
  • Masih berhubungan dengan poin di atas. Tahukah kamu, kebiasaan anak yang saat kecil selalu dituruti keinginannya, bisa terbawa sampai dewasa, dan akhirnya si anak bisa menjadi orang yang suka korupsi, menipu, atau menghalalkan segala cara dalam mendapatkan keinginginannya. Kenapa demikian? Karena sudah terbiasa selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Ketika kecil, ada ortunya yang memenuhinya. Tapi ketika sudah dewasa dan harus berusaha sendiri, akhirnya dia cenderung menghalalkan segala cara jika tidak bisa mendapatkan sesuatu yang diinginkannya.

Percaya deh, awal-awal mungkin kelihatan baik-baik saja jika kita langsung menuruti keinginan anak jika dia merengek, tapi sebetulnya itu hanya akan menumpuk masalah, dan ke depannya ortu sendiri yang akan capek dibuatnya.

Mengenalkan Konsep Uang

Selain itu, saya berusaha mengenalkan konsep "uang" kepada anak saya sejak dini.

Memang bukan hal yang mudah, karena ketika masih kecil sekali mereka belum bisa berhitung, bahkan belum mengenal konsep angka. Tapi yang saya sampaikan adalah pemahaman tentang konsepnya, bukan uangnya.

Intinya, saya memberi pemahaman bahwa:

  1. Untuk membeli sesuatu itu perlu menggunakan uang.
  2. Uang bukanlah sumber yang tak terbatas dan bisa dihambur-hamburkan begitu saja.
  3. Untuk mendapatkan sesuatu itu perlu usaha.

Tentu cara penyampaiannya tidak segamblang menggunakan kata-kata di atas, tapi dengan cara dan bahasa yang dimengerti oleh anak kecil sesuai usianya.

Awal mengenalkannya sesederhana mengajak anak melihat kita membayar di kasir setiap kali kita membeli sesuatu di toko. Sebelum dia bisa menggunakan atau memakan apa yang dia ambil dari rak toko, kita ajak dia untuk membayarnya dulu di kasir.

Di lain kesempatan, saya memberi pemahaman bahwa setiap barang di toko itu ada harganya, dan harganya bisa mahal atau murah. Kalau murah, mungkin bisa langsung kita beli, dan kalau mahal bukan berarti kita tidak bisa membelinya, tapi perlu ada usaha dulu, yaitu menabung (saya pantang mengatakan tidak punya uang, karena itu seolah menjadi doa untuk diri sendiri). Saya biasa memberi pilihan atau perbandingan dengan barang lain, agar dia paham seberapa mahal murah itu. Karena jika saya sebut angka, dia juga belum mengerti.

Kalau anak sudah agak besar dan sudah bisa diajak berkomunikasi dua arah dan berdiskusi, ini akan lebih mudah.

Pernah anak saya tiba-tiba minta dibelikan suatu mainan di mal, saya tidak buru-buru menolaknya, tapi saya ajak dia berdiskusi. Saya tanya itu mainan apa, bagaimana cara mainnya, apa manfaatnya, kenapa dia suka. Apakah dia butuh mainan itu? Dari situ diskusi kemudian berkembang, termasuk melihat harganya. Dari situ saya kasih perbandingan bahwa dengan harga segitu, sedikit lagi bisa membeli barang yang sebetulnya sedang dia inginkan. Apa uangnya mau digunakan untuk membeli mainnan ini, atau disimpan dulu untuk membeli barang yang dia inginkan nanti? Akhirnya dia memilih untuk mengesampingkan keinginan membeli mainan itu.

Mengajak diskusi adalah salah satu trik, karena kalau saya langsung menolak dan berkata tidak boleh, anak bisa langsung ngambek atau mungkin malah tantrum, yang justru malah makin susah untuk diajak berkomunikasi.

Kebutuhan vs Keinginan

Ini juga yang saya ajarkan ke anak, bahwa barang itu ada yang sifatnya kebutuhan dan ada yang sifatnya keinginan.

Kebutuhan adalah sesuatu yang penting untuk dipenuhi, yang jika tidak dipenuhi maka akan membuat kita menjadi susah atau menimbulkan hal yang negatif. Contohnya adalah makan, minum, pakaian, tempat tinggal.

Sementara keinginan adalah sesuatu yang tidak harus dipenuhi, yang jika tidak didapat pun tidak akan membuat kita susah atau mendatangkan hal negatif. Contohnya mainan mobil-mobilan, mainan yang mahal, dsb.

Makanya ketika anak saya meminta sesuatu, salah satu pertanyaan yang akan saya ajukan adalah, apakah itu kebutuhan atau keinginan? Jika itu keinginan, artinya tidak harus dipenuhi saat itu juga. Saya akan ajak dia untuk melihat harganya dan berpikir bagaimana cara untuk mendapatkannya, dan jika sudah mendapatkannya, hal positif apa yang bisa dia lakukan dengan barang itu. Tapi saya tidak pernah memupus apapun keingnan yang anak-anak saya utarakan. Biarkan saja mereka punya mimpi keinginan-keinginan yang setinggi langit. Saya anggap mereka sekedar mengungkapkan apa yang ada di pikiran mereka, bukan lantas menjadi kewajiban saya untuk memenuhinya.

Belajar Bersyukur

Sejalan dengan itu, saya juga berusaha mengajarkan anak untuk selalu bersyukur.

Bersyukur artinya tetap bahagia dengan kondisi yang berkecukupan, tidak harus banyak atau berlebih. Asalkan cukup, itu sudah Alhamdulillah. Karena itu, saya sering mengajak anak berucap "Alhamdulillah" ketika kita atau dia mendapat sesuatu, meskipun itu hal kecil. Jika masih ada cemilan yang bisa dimakan meskipun sedikit, saya bilang Alhamdulillah masih ada. Kalau kami memberi anak mainan, mengajak liburan, atau yang lain, kadang saya berujar "Alhamdulillah papa & mama ada rejeki, jadi bisa beli mainan atau jalan-jalan". Saya juga sering bercerita bahwa banyak orang di luar sana yang kondisinya jauh lebih tidak beruntung dibanding kita, dan karena itu kita harus bersyukur akan kondisi kita.

Itulah di atas beberapa strategi saya.

Hasilnya? Alhamdulillah, mereka bisa saya ajak bermain di toko mainan di mal seharian (semacam Toys City, Kidz Station, dsb. *maaf menyebut merek), tanpa mereka merengek-rengek minta dibelikan mainan, dan pulang dengan ceria tanpa membeli satu mainan pun.

Apakah selalu berjalan mulus dan lancar? Tentu tidak. Butuh usaha yang terus menerus dan tidak kenal lelah.

Catatan tambahan:

  • Apa yang saya tulis di atas adalah pengalaman saya dalam menangani anak-anak saya, berbekal ilmu dari berbagai sumber (seperti buku-buku parenting, seminar parenting, dll.) dan atas buah pemikiran saya sendiri juga. Alhamdulillah jika bisa menginspirasi. Tapi jika ingin diterapkan pada anak lain mungkin tidak bisa 100 persen sama, karena setiap anak itu unik, dengan kondisi keluarga dan lingkungan yang juga pasti berbeda-beda.
  • Kami menerapkan aturan di atas bukan artinya menjadi pelit kepada anak, tapi kami ingin hidup mereka jadi lebih teratur, dan tentunya pemenuhan segala sesuatu itu ada skala prioritasnya. Untuk pendidikan, kami menyekolahkan mereka di sekolah terbaik yang kami bisa temukan, meskipun harus merogoh kocek lebih dalam. Untuk kebutuhan penting lainnya seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kami juga berusaha selalu memberikan yang terbaik. Lain lagi untuk hal-hal di luar itu. Semua ada porsi dan aturannya. Kami tidak mau memanjakan anak. Konon Bill Gates yang orang terkaya nomor satu di dunia saja berusaha mengajarkan anak-anaknya untuk hidup sederhana.
  • Kami membelikan mainan untuk anak-anak biasanya pada momen-momen tertentu saja, seperti ketika ulang tahun dan libur panjang. Tapi pernah juga kami membelikannya di waktu lain sebagai bentuk surprise dan apresiasi ke anak. Itu saja sudah membuat mainan mereka menumpuk satu lemari penuh. Membelikan mainan hanya karena anak merengek-rengek minta dibelikan menurut kami bukan hal yang mendidik.
  • Demikian pula dalam membelikan cemilan, biasanya ini sudah terjadwal bersamaan dengan jadwal belanja mingguan atau bulanan (istri saya yang mengatur), dan yang kami beli adalah sesuai dengan keinginan anak. Ini demi menjaga agar urusan belanja menjadi lebih teratur, dan menghindari permintaan sewaktu-waktu dari anak yang tidak terkontrol. Tapi sering juga kami membeli penganan yang sifatnya dadakan, seperti membeli makanan dari g*food, asal didiskusikan dengan baik. Kami juga harus memikirkan kesehatan anak-anak dengan memberikan asupan yang sehat. Tentunya kami tidak bisa membiarkan anak makan es krim ketika dia sedang sakit flu. Kami tidak bisa membiarkan mereka makan gula-gula atau permen yang banyak setiap hari karena itu tidak baik untuk kesehatan mereka.
  • Kami tidak pernah memupus keinginan anak-anak untuk membeli barang-barang mahal. Sering sekali mereka mengungkapkan keinginan yang ada di pikiran mereka dan kami selalu berusaha menjadi pendengar yang baik. Misalnya saja pernah suatu hari si sulung berkata kepada kami bahwa dia ingin punya mobil Ferarri. Tidak ada yang jelek dan salah dengan keinginannya itu, jadi kami hanya menjawab boleh saja. Tentu bukan berarti kami harus langsung pontang-panting membelikannya segera kan? Kami malah ikut meng-Amin-kan keinginannya itu, siapa tahu suatu hari nanti kami benar-benar bisa memilikinya, jika bukan dari kami, mungkin dia yang kelak bisa membelinya sendiri. Aamin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Tangki Cinta Anak

Ini adalah tulisan yang saya rangkum dari Bab 1-2 buku "Hypnotherapy for Children" karya Adi W. Gunawan, seorang ahli hipnoterapi. Penjelasan teori dalam buku tersebut banyak membukakan mata saya mengenai apa yang sebenarnya menjadi "akar permasalahan" ketika perilaku anak kita bermasalah. Ini sangat membantu saya memahami anak dan bagaimana saya harus bersikap dan memperlakukan anak. Bagi saya ini bukan hanya sekedar teori. Tidak ada yang mengatakan menjadi orang tua itu gampang, tapi tidak ada yang mustahil untuk ditangani selama kita berpikir positif. Karena itu saya pribadi selalu membaca dan membekali diri saya dengan ilmu parenting sebanyak-banyaknya, sambil tidak lupa selalu melakukan introspeksi diri dan open-minded , yaitu berusaha tidak menyangkal jika ada masalah dan mengakui jika kita melakukan kesalahan. Jika orang tua selalu dalam posisi  denial , sesungguhnya anak juga lah yang akan jadi korban, dan itu akan menjadi bumerang bagi orang tuanya se

Cerita Setelah 4 Bulan Sekolah di Preschool HS

Tahun lalu kami sempat sangat sedih ketika mengetahui anak pertama kami, Rei (saat ini 4 tahun), ditolak masuk di sekolahnya yang sekarang. Tapi sepertinya memang Allah sudah punya rencana lain. Banyak hikmah positif yang bisa diambil dari peristiwa itu. Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, sampai berusaha membuat bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat ahli terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya. Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memberikan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah membuat keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melakukan

Proses Lebih Penting daripada Hasil (Kaitannya dengan Pola Asuh Anak)

Pola pikir yang lebih mementingkan HASIL ketimbang PROSES sepertinya memang sudah sangat mendarah daging di masyarakat kita. Dari hal kecil yang bisa kita temui sehari-hari, sampai hal besar, semua mencerminkan kalau ‘kita’ memang lebih senang langsung menikmati hasil, tapi enggan atau malas melewati prosesnya. Ini artinya lebih banyak orang yang tidak sabar, cenderung ambil jalan pintas, dan mau gampangnya saja, yang penting hasilnya tercapai. Hasil memang penting, tapi proses untuk mencapai hasil itu lebih penting lagi. Gak percaya? Tidak usah jauh-jauh. Untuk mendapat nilai A di sekolah, banyak cara yang bisa ditempuh. Lebih baik mana, si Ali yang belajar sungguh-sungguh, atau si Mawar yang mendapat nilai atas hasil mencontek? Dua-duanya sama mendapat nilai A. Tapi proses untuk mencapai nilai A itu yang membuat si Ali jauh lebih berkualitas dibanding si Mawar. Di dunia nyata pasti akan kelihatan ketika mereka harus mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki. Memang sudah