Membicarakan pendidikan, saya selalu teringat dengan ilustrasi di gambar ini yang konon diinspirasi oleh quote dari Einstein (gambar diambil dari google).
Ya seperti itulah pendidikan kita sekarang. Anak cenderung diwajibkan mencapai standar yang sama. Anak pintar adalah anak yang jago matematika, sains, dan mata pelajaran semacamnya. Sisanya, ya anak bodoh. Menyedihkan sekali bukan?
Saya jadi mau berbagi mengenai satu sekolah yang menurut saya memiliki kurikulum dan metode yang cocok dengan kriteria pendidikan abad 21. Ini berdasarkan pengalaman nyata, dan apa yang saya lihat jauh sekali dibanding pendidikan konvensional yang saya dapat waktu kecil dulu.
Tidak Ada Ranking di Kelas
Sekolah ini tidak lagi menerapkan peringkat ranking di kelas. Setiap anak dianggap sebagai individu yang unik yang berbeda-beda, karena itu tidak bisa disamaratakan pencapaian dan cara belajarnya. Penerapan ranking sama saja artinya menerapkan standarisasi yang sama ke semua anak.
Melatih Murid Untuk Berpikir
Anak dididik untuk mengutarakan pendapat dan berpikir, bukan sekedar didikte untuk menguasai hapalan dan rumus-rumus dari guru. Yang ditanamkan kepada anak adalah kemampuan untuk memahami konsep dan berpikir secara kritis. Anak dididik untuk menjadi pembelajar (life long learner), bukan hanya sekedar menghapal dan menguasai materi yang diberikan.
Tidak Ada Ulangan, Masa Ujian Tengah Semester / Ujian Akhir Semester
Penilaian murid bukan didasarkan pada tes-tes atau ujian akademik tertulis semata. Tidak ada yang namanya ulangan harian, masa ujian tengah semester, atau masa ujian akhir semester.
Jika tidak ada ulangan dan masa ujian khusus, lalu bagaimana guru menilai murid? Dan bagaimana anak jadi termotivasi untuk belajar jika bukan untuk menghadapi masa ujian?
Justru di sinilah kelebihannya. Ulangan dan ujian hanya akan membuat anak berusaha belajar untuk mencapai tujuan jangka pendek yaitu mendapat nilai yang bagus pada saat ujian. Setelah ujian, lupakan saja. Ujian-ujian seperti itu juga kerap memicu tingkat stres anak (dan kadang juga orang tua).
Dalam sistem tanpa ulangan dan ujian, justru guru dituntut untuk selalu memperhatikan dan menguji kemampuan murid dalam setiap aktifitas di kelas, termasuk ketika murid mengerjakan tugas-tugas dan projek yang diberikan. Di kelas, murid juga tidak melulu diberikan tugas tertulis, banyak sekali yang sifatnya verbal, diskusi, dan tanya jawab dua arah. Di situlah guru harus mengamati dan menilai perkembangan anak setiap saat, yang pada akhirnya guru bisa memberikan nilai. Anak juga jadi didorong untuk selalu bejalar bukan hanya pada saat ujian saja.
Tes Diadakan Untuk Assessment Bukan Sekedar Untuk Mendapat Nilai
Memang bukan berarti tidak ada tes tertulis sama sekali, namun tes tertulis dilakukan lebih untuk melakukan assessment dan konfirmasi ulang sudah sampai mana progres kemampuan si anak, apa saja yang sudah dia kuasai, dan apa yang masih harus di-improve lagi ke depannya oleh si anak. Jadi bukan untuk menghakimi atau sekedar mengisi nilai akademik di rapot.
Penyampaian Materi Bukan Hanya Satu Arah
Penyampaian materi bukan hanya bersifat satu arah dari guru ke murid, tapi banyak melibatkan tanya jawab, diskusi, bahkan presentasi dari si murid sendiri. Materi-materi tidak hanya disampaikan dalam bentuk teori, tapi murid diajak untuk langsung bereksperimen dengan melakukannya secara nyata. Contohnya, pembelajaran matematika dilakukan dengan metode constructivism di mana anak akan bereksplorasi dengan benda-benda yang konkret terlebih dulu agar memahami konsep, tidak langsung belajar menulis angka-angka di atas kertas. Dalam belajar IPS dan IPA, biasanya ada projek-projek dan misi yang harus dilakukan si anak.
Project Based Learning
Karena pembelajaran bukan hanya bersifat satu arah, sekolah ini menerapkan yang namanya project based learning. Dalam setiap term, ada dua projek atau lebih yang harus diselesaikan oleh setiap murid, misalnya Science Project dan Social Studies Project. Pada setiap project biasanya ada satu kasus atau pertanyaan besar yang harus diselesaikan dan dijawab oleh setiap murid. Penyelesaian projek mengikuti kaedah metode ilmiah, dari analisa, hipotesis, eskperimen, sampai akhirnya mencapai kesimpulan yang bisa menjawab pertanyaan besar atau kasus. Projek-projek ini mengintegrasi juga pelajaran lain seperti matematika, bahasa, dan lainnya. Projek ada yang bersifat mandiri dan ada yang bersifat kelompok untuk melatih kemampuan berkolaborasi.
Metode ini diterapkan dari sejak usia TK, dan tentu untuk anak-anak yang usia bawah terkadang terlihat projeknya sangat sederhana dan mudah jika dilihat dari kacamata orang dewasa, tapi itu bisa menjadi sarana pembelajaran yang sangat baik bagi anak. Tentu hasil dari setiap anak bisa berbeda-beda, karena tujuannya memang melatih anak untuk berpikir, bukan untuk menyeragamkan pencapaian.
21st Centry Skills with 8 Learner Outcomes
Tujuan belajar bukan sekedar agar si anak menguasai ilmu yang dikotak-kotakkan ke dalam mata pelajaran seperti Matematika, Bahasa, IPA, IPS, kesenian, dan seterusnya, tapi tujuannya adalah untuk membangun manusia yang seutuhnya (the whole child) baik dalam kemampuan akademik maupun kemampuan interpersonal dan intrapersonalnya. Tujuannya adalah agar anak pada akhirnya dapat menguasai skill yang diperlukan di abad 21 (21st century skills) meliputi kepercayaan diri (confidence), kemampuan berkolaborasi (collaboration), berpikir kritis (critical thinking), menyelesaikan masalah (problem solving), dan berkomunikasi (communication).
Untuk mencapai tujuan itu, sekolah memiliki framework berupa learner outcomesyang terdiri dari:
- Audience-centered communication
- Creativity and innovation
- Expert thinking
- Meta-level reflection
- Agility and adaptability
- Synergistic collaboration
- Ethical leadership
- Social problem solving
Pelajaran-pelajaran yang diberikan saling terkait satu sama lain, dan biasanya dalam satu term (triwulan) ada tema besar yang diusung yang kemudian dielaborasi ke dalam mata-mata pelajaran. Dan semua itu akan mengarah pada penguasaan 8 learner outcomes yang telah dirumuskan di atas.
Sistem Multi-Age Class
Sekolah ini menerapkan sistem multi-age class, yang artinya dalam 1 kelas terdapat murid-murid dari dua tingkatan kelas sekaligus yang belajar bersama-sama. Misalnya kelas 2 tergabung dengan kelas 3, kelas 4 & 5, kelas 6 & 7, dst. Metode ini memiliki banyak keuntungan, antara lain murid jadi dapat saling belajar dari satu sama lain. Anak-anak yang menjadi kakak kelas dapat membimbing anak-anak yang menjadi adik kelas dalam belajar bersama. Filosofinya, ketika kita mengajarkan sesuatu ke orang lain, maka kita sendiri justru akan menjadi lebih paham. Dan pemahaman ilmu yang sesungguhnya adalah ketika kita sudah bisa mengajarkan ilmu itu kepada orang lain. Anak juga biasanya akan lebih mudah belajar dari sesama anak seumurnya karena mempunyai "bahasa" yang sama. Selain itu, sistem multi-age juga sangat membantu menekan potensi terjadinya bullying atau perundungan. Menurut penelitian, kelas yang hanya berisi anak-anak yang satu umur cenderung membuat anak menjadi bersaing satu sama lain, yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya bullying. Sementara kelas yang berisi anak-anak yang berbeda umur justru cenderung akan membantu satu sama lain.
Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Sekolah ini memang sangat menanamkan nilai kerjasama atau kolaborasi. Berkebalikan dengan pemahaman yang selama ini ada bahwa seorang anak di sekolah harus punya jiwa yang kompetitif, di sekolah ini justru anak diajarkan untuk berkolaborasi dalam banyak hal. Kompetisi hanya akan memberikan persepsi yang salah bahwa kita berprestasi dengan cara mengalahkan orang lain. Padahal kompetisi yang sesungguhnya seharusnya adalah dengan diri kita sendiri, bagaimana kita bisa menjadi diri kita yang lebih baik dibanding diri kita yang sebelumnya, dari hari ke hari, dalam segala hal. Dengan bekerjasama, saling membantu, kita akan mencapai hasil yang lebih baik. Karena itulah, sistem ranking sangat tidak relevan.
Bisa Calistung Bukan Syarat Masuk Kelas 1 SD
Sekolah ini termasuk sekolah yang tidak mensyaratkan anak harus bisa membaca, menulis, dan berhitung untuk masuk kelas 1 SD. Logikanya memang kita memasukkan anak ke sekolah agar menjadi pintar, bukan harus pintar dulu agar bisa diterima sekolah. Tes masuk ada, namun lebih untuk melihat kesiapan anak secara sosial emosional dan kesiapan untuk belajar, bukan akademiknya.
Sistem Bilingual
Dalam hal bahasa, tentu tidak lupa bahwa kita adalah bagian dari komunitas dunia, dan karena itu sekolah ini menerapkan penggunaan dwi bahasa (bilingual) dengan English sebagai salah satu bahasa wajib sejak dari tingkat usia dini, di samping bahasa ibu, baik untuk komunikasi sehari-hari maupun dalam pelajaran. Anak-anak setingkat SD di sekolah ini rata-rata sudah lancar berbahasa Inggris, namun tidak juga melupakan bahasa ibunya.
Nilai-nilai Luhur
Di samping hal-hal yang bersifat akademik, sekolah ini juga berusaha menanamkan nilai-nilai (values) yang positif kepada anak didik. Salah satu yang sangat menonjol adalah masalah respect atau saling menghargai. Di sekolah ini, perbedaan sangat dihargai, baik itu perbedaan suku, bangsa, sosial ekonomi, maupun agama. Nilai ini begitu terasa sekali dijalankan di sekolah. Semua berbaur dan bekerja sama tanpa memandang adanya perbedaan-perbedaan.
Sekolah Inklusi
Sekolah ini dapat menerima anak-anak berkebutuhan khusus yang bersekolah bersama anak yang lain dalam satu kelas. Biasanya anak berkebutuhan khusus didampingi guru khusus, tapi untuk rutinitas dan pembelajaran sehari-hari akan sama dengan anak lainnya. Ini salah satu pembelajaran yang sangat baik juga bagi anak-anak mengenai menerima perbedaan dan bagaimana mereka bisa respek terhadap orang berbeda dengan mereka.
Home-School Collaboration
Tentu keberhasilan anak dalam pendidikan tidak hanya bergantung pada pihak sekolah saja. Butuh kerjasama antara orang tua, guru, dan sekolah dalam menunjang keberhasilan anak. Ini bukan sekedar orang tua membantu anak mengerjakan PR di rumah lho ya, tapi orang tua terlibat dalam banyak kegiatan, dan selalu berdiskusi dengan guru. Karena itulah, ketika penerimaan rapot, guru tidak hanya memberikan buku rapot yang berisi nilai-nilai saja, tapi selalu ada diskusi panjang lebar antara guru, orang tua, dan murid itu sendiri. Apa saja pencapaian si anak, apa saja yang masih harus di-improve, rencana pembelajaran ke depan, perilaku anak, dsb. Pada term-term tertentu bahkan si anak sendiri yang mempresentasikan hasil pencapaiannya di depan orang tua dan guru.
Apakah sekolah ini ada di Indonesia? Yup, yang saya bicarakan ini memang salah satu sekolah yang ada di Indonesia. Dan saya sangat senang dapat menyekolahkan anak-anak saya di sana.
Komentar
Posting Komentar