Ini pertanyaan yang tidak bisa dijawab sesimpel Ya atau Tidak. Ada banyak perspektif di dalamnya.
Dalam dunia yang ideal, tentu membentak anak adalah sesuatu yang tidak baik, sesuatu yang salah, sesuatu yang buruk. Tapi ortu bukanlah robot. Ortu juga manusia biasa yang punya perasaan, punya emosi, yang bisa lelah, yang kadang juga butuh me time, kadang butuh dimengerti, dan kadang juga bisa hilang kontrol.
Bagi yang belum pernah merasakan menjadi orang tua, mungkin akan dengan mudahnya bilang membentak anak itu salah, harus pakai cara halus, saya berjanji tidak akan melakukannya jika punya anak nanti. Tapi setelah jadi orang tua dan punya anak, tidak semudah itu fergusso.
Bohong banget kalau saya bilang saya gak pernah marah atau gak pernah membentak anak-anak saya sedikitpun.
Bukan saya mau membela diri, bukan pula mau membenarkan perbuatan membentak anak. Namun baik buruknya, semua tergantung bagaimana keseharian kita bersama anak, dan bagaimana kita kemudian menyikapinya jika sampai itu terjadi. Karena itulah saya katakan ini tidak semudah menjawabnya dengan Ya atau Tidak.
Saya akui saya pernah marah dan membentak anak saya. Tapi ada prinsip-prinsip yang tetap saya pegang teguh, atau dengan kata lain ada aturan main demi menjaga hubungan dengan anak tetap positif.
Seperti ini yang saya jalani selama ini:
- Tidak berkata kasar dan main fisik. Semarah-marahnya saya dan sekeras apapun bentakan saya ke anak, saya tidak pernah menggunakan kata-kata kasar. Mungkin nada bicara saya meninggi dan membentak, tapi tidak pernah disertai kata-kata kasar apalagi umpatan. Saya juga pantang menggunakan kekerasan fisik seperti memukul, menjewer, mencubit, atau hal yang bisa menyakiti secara fisik.
- Tidak melabel negatif anak. Ini juga sangat penting. Semarah-marahnya pada anak, saya pantang memberi label negatif, seperti "dasar malas", "dasar bodoh", "dasar nakal", dll. Saya perhatikan ada beberapa ortu yang mungkin saking kesalnya, tanpa sadar ketika marah terlontar kata seperti "kok kamu pemalas sih", "kok kamu nakal", "kok kurang ajar", dll. Hati-hati, itu juga termasuk melabel. Melabel anak seperti itu sangatlah berbahaya, karena anak bukannya malah membaik, tapi jika kata-kata itu masuk ke pikiran bawah sadarnya bisa-bisa justru anak akhirnya menjadikan itu sebagai identitias dirinya, apalagi jika itu sering dilontarkan kepadanya. Dan ini bisa terbawa sampai ia dewasa berpuluh tahun ke depan. Gak mau kan sampai itu terjadi?! Ingat juga bahwa perkataan orang tua adalah doa.
- Diskusi setelah memarahi. Marah itu gak enak, tidak hanya buat yang dimarahi, tapi juga buat yang memarahi. Karena itu, sesudah kondisi tenang kembali, sedapat mungkin saya sempatkan untuk berdiskusi dengan anak mengenai kejadian tadi. Saya akan tanya apakah dia tahu kenapa saya marah, dan saya juga akan menjelaskan kembali kenapa saya marah. Lalu kita akan berdiskusi, kenapa dia begitu, apa yang harus dia lakukan ke depannya, dan apa yang harus dia ubah agar kejadian yang sama tidak terulang kembali. Setelah berdiskusi, biasanya saya peluk si anak, dan tak jarang saya juga meminta maaf jika saya merasa sudah memarahi atau membentaknya terlalu berlebihan. Saya ingin dia tahu bahwa saya marah bukan tanpa alasan, dan saya ingin dia bisa merefleksikan kesalahannya sendiri dan berpikir bagaimana menjadi lebih baik ke depannya. Sebaliknya, jika dia ada feedback atau keluhan mengenai saya, saya akan mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Saya ingin dia mengerti bahwa saya marah bukan kepada dia secara pribadi, tapi saya marah atas perilaku dan perbuatannya, dan saya tetap menyayangi dia. Saya marah bukan hanya karena sekedar ingin melepaskan emosi, lalu melupakannya dan menganggap semuanya akan berlalu begitu saja. Dengan berdiskusi, saya berusaha memulihkan keadaan, dan agar tidak ada luka batin yang tersisa di antara saya dan si anak.
- Jangan jadikan marah sebagai alat, bangunlah hubungan positif. Ini yang paling penting, jangan menjadikan marah, omelan, maupun bentakan sebagai alat sehari-hari sebagai jalan pintas agar si anak menurut. Justru sebaliknya, saya senantiasa berusaha membangun hubungan dan komunikasi yang positif dengan anak. Caranya? Dengan menjadi pendengar yang baik, selalu menggunakan kata-kata yang positif kepada anak, tidak suka mendebat perkataan anak, merespon segala perkataan anak dengan baik, berusaha sabar, dan masih banyak lagi. Dan ini perlu dibangun sejak anak masih bayi. Apalagi semasa balita, saya cenderung sangat hati-hati dalam menangani dan merespon anak. Percayalah cara ini jauh lebih efektif. Ketika hubungan positif dengan anak sudah terjalin, anak dengan sendirinya akan menjadi jauh lebih kooperatif tanpa kita harus pasang urat. Dengan cara ini, saya jadi tidak harus selalu marah setiap hari. Bahkan bisa berminggu-minggu saya tidak perlu memarahi anak-anak saya. Marah, mengomel, membentak ibaratnya adalah peluru terakhir yang kita gunakan ketika kita sudah tersudut. Jika kita sering menggunakannya, akhirnya yang kita keluarkan adalah peluru kosong yang tidak akan berefek lagi. Jadi jika saya sampai marah, anak-anak saya sudah mengerti berarti ada perilaku mereka yang sudah melewati batas.
Aturan main ini tidak dibuat dalam satu dua hari, tapi berprogres dan berkembang dalam bertahun-tahun selama saya menjadi ortu. Dan mungkin masih akan terus berkembang seiring anak-anak bertambah besar.
Yang perlu diingat, ortu adalah contoh bagi anak-anaknya. Dan anak-anak lebih banyak belajar dari mencontoh.
Jika kita ingin anak selalu mendengarkan perkataan kita, kita dulu yang harus mencontohkan bagaimana menjadi pendengar yang baik itu. Responlah dengan baik setiap dia memanggil kita. Jawablah setiap pertanyaannya dengan sungguh-sungguh. Dengarkan cerita-ceritanya sekonyol apapun itu. Jangan buru-buru menggurui, mengoreksi, atau meceramahi, anak akan jadi malas bercerita lagi. Jangan suka langsung membantah dan mendebat perkataannya biarpun dia salah. Pakai strategi ketika kita ingin mengoreksi anak. Apresiasi apa yang sudah benar, lalu beri perbaikan untuk apa yang salah. Jadilah active listener bagi anak.
Jika kita ingin anak menghormati ortu, respect lah terlebih dulu kepada anak. Berikanlah contoh lebih dulu bagaimana sikap respect itu. Perlakukan anak bukan sebagai anak kecil, tapi layaknya sebagai orang dewasa yang bertubuh kecil dan masih butuh banyak belajar.
Sekali lagi, saya bukan mau membenarkan perlakuan membentak anak. Jika masih bisa sabar dan pakai cara halus, itu jauh lebih baik. Tapi menggunakan cara halus bukan berarti kita jadi permisif dan selalu mengiyakan begitu saja apapun perilaku anak, yang penting tidak marah-marah dan ribut. Ini juga tidak benar. Sebagai ortu, kita punya misi untuk mendidik anak. Sebetulnya banyak teori dan teknik yang dijelaskan di buku-buku jika kita mau belajar. Sayangnya, kenyataan memang tidak selalu seindah teori, tapi teori parenting tetap sangat berguna.
Kuncinya adalah menjaga hubungan yang positif dengan anak. Bagi saya, selama saya lihat anak-anak masih nyaman untuk bercerita dan bertanya macam-macam kepada saya, berarti hubungan masih aman. Jangan sampai anak menjadi segan, takut, malas untuk becerita atau sekedar bertanya kepada saya, ini akan jadi warning keras buat saya.
Tentu masih jauh dari sempurna, tapi saya terus berusaha.
Komentar
Posting Komentar