Langsung ke konten utama

Apakah Bentakan Orang Tua Termasuk Kesalahan Dalam Mendidik Anak?

Ini pertanyaan yang tidak bisa dijawab sesimpel Ya atau Tidak. Ada banyak perspektif di dalamnya.

Dalam dunia yang ideal, tentu membentak anak adalah sesuatu yang tidak baik, sesuatu yang salah, sesuatu yang buruk. Tapi ortu bukanlah robot. Ortu juga manusia biasa yang punya perasaan, punya emosi, yang bisa lelah, yang kadang juga butuh me time, kadang butuh dimengerti, dan kadang juga bisa hilang kontrol.

Bagi yang belum pernah merasakan menjadi orang tua, mungkin akan dengan mudahnya bilang membentak anak itu salah, harus pakai cara halus, saya berjanji tidak akan melakukannya jika punya anak nanti. Tapi setelah jadi orang tua dan punya anak, tidak semudah itu fergusso.

Bohong banget kalau saya bilang saya gak pernah marah atau gak pernah membentak anak-anak saya sedikitpun.

Bukan saya mau membela diri, bukan pula mau membenarkan perbuatan membentak anak. Namun baik buruknya, semua tergantung bagaimana keseharian kita bersama anak, dan bagaimana kita kemudian menyikapinya jika sampai itu terjadi. Karena itulah saya katakan ini tidak semudah menjawabnya dengan Ya atau Tidak.

Saya akui saya pernah marah dan membentak anak saya. Tapi ada prinsip-prinsip yang tetap saya pegang teguh, atau dengan kata lain ada aturan main demi menjaga hubungan dengan anak tetap positif.

Seperti ini yang saya jalani selama ini:

  • Tidak berkata kasar dan main fisik. Semarah-marahnya saya dan sekeras apapun bentakan saya ke anak, saya tidak pernah menggunakan kata-kata kasar. Mungkin nada bicara saya meninggi dan membentak, tapi tidak pernah disertai kata-kata kasar apalagi umpatan. Saya juga pantang menggunakan kekerasan fisik seperti memukul, menjewer, mencubit, atau hal yang bisa menyakiti secara fisik.
  • Tidak melabel negatif anak. Ini juga sangat penting. Semarah-marahnya pada anak, saya pantang memberi label negatif, seperti "dasar malas", "dasar bodoh", "dasar nakal", dll. Saya perhatikan ada beberapa ortu yang mungkin saking kesalnya, tanpa sadar ketika marah terlontar kata seperti "kok kamu pemalas sih", "kok kamu nakal", "kok kurang ajar", dll. Hati-hati, itu juga termasuk melabel. Melabel anak seperti itu sangatlah berbahaya, karena anak bukannya malah membaik, tapi jika kata-kata itu masuk ke pikiran bawah sadarnya bisa-bisa justru anak akhirnya menjadikan itu sebagai identitias dirinya, apalagi jika itu sering dilontarkan kepadanya. Dan ini bisa terbawa sampai ia dewasa berpuluh tahun ke depan. Gak mau kan sampai itu terjadi?! Ingat juga bahwa perkataan orang tua adalah doa.
  • Diskusi setelah memarahi. Marah itu gak enak, tidak hanya buat yang dimarahi, tapi juga buat yang memarahi. Karena itu, sesudah kondisi tenang kembali, sedapat mungkin saya sempatkan untuk berdiskusi dengan anak mengenai kejadian tadi. Saya akan tanya apakah dia tahu kenapa saya marah, dan saya juga akan menjelaskan kembali kenapa saya marah. Lalu kita akan berdiskusi, kenapa dia begitu, apa yang harus dia lakukan ke depannya, dan apa yang harus dia ubah agar kejadian yang sama tidak terulang kembali. Setelah berdiskusi, biasanya saya peluk si anak, dan tak jarang saya juga meminta maaf jika saya merasa sudah memarahi atau membentaknya terlalu berlebihan. Saya ingin dia tahu bahwa saya marah bukan tanpa alasan, dan saya ingin dia bisa merefleksikan kesalahannya sendiri dan berpikir bagaimana menjadi lebih baik ke depannya. Sebaliknya, jika dia ada feedback atau keluhan mengenai saya, saya akan mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Saya ingin dia mengerti bahwa saya marah bukan kepada dia secara pribadi, tapi saya marah atas perilaku dan perbuatannya, dan saya tetap menyayangi dia. Saya marah bukan hanya karena sekedar ingin melepaskan emosi, lalu melupakannya dan menganggap semuanya akan berlalu begitu saja. Dengan berdiskusi, saya berusaha memulihkan keadaan, dan agar tidak ada luka batin yang tersisa di antara saya dan si anak.
  • Jangan jadikan marah sebagai alat, bangunlah hubungan positif. Ini yang paling penting, jangan menjadikan marah, omelan, maupun bentakan sebagai alat sehari-hari sebagai jalan pintas agar si anak menurut. Justru sebaliknya, saya senantiasa berusaha membangun hubungan dan komunikasi yang positif dengan anak. Caranya? Dengan menjadi pendengar yang baik, selalu menggunakan kata-kata yang positif kepada anak, tidak suka mendebat perkataan anak, merespon segala perkataan anak dengan baik, berusaha sabar, dan masih banyak lagi. Dan ini perlu dibangun sejak anak masih bayi. Apalagi semasa balita, saya cenderung sangat hati-hati dalam menangani dan merespon anak. Percayalah cara ini jauh lebih efektif. Ketika hubungan positif dengan anak sudah terjalin, anak dengan sendirinya akan menjadi jauh lebih kooperatif tanpa kita harus pasang urat. Dengan cara ini, saya jadi tidak harus selalu marah setiap hari. Bahkan bisa berminggu-minggu saya tidak perlu memarahi anak-anak saya. Marah, mengomel, membentak ibaratnya adalah peluru terakhir yang kita gunakan ketika kita sudah tersudut. Jika kita sering menggunakannya, akhirnya yang kita keluarkan adalah peluru kosong yang tidak akan berefek lagi. Jadi jika saya sampai marah, anak-anak saya sudah mengerti berarti ada perilaku mereka yang sudah melewati batas.

Aturan main ini tidak dibuat dalam satu dua hari, tapi berprogres dan berkembang dalam bertahun-tahun selama saya menjadi ortu. Dan mungkin masih akan terus berkembang seiring anak-anak bertambah besar.

Yang perlu diingat, ortu adalah contoh bagi anak-anaknya. Dan anak-anak lebih banyak belajar dari mencontoh.

Jika kita ingin anak selalu mendengarkan perkataan kita, kita dulu yang harus mencontohkan bagaimana menjadi pendengar yang baik itu. Responlah dengan baik setiap dia memanggil kita. Jawablah setiap pertanyaannya dengan sungguh-sungguh. Dengarkan cerita-ceritanya sekonyol apapun itu. Jangan buru-buru menggurui, mengoreksi, atau meceramahi, anak akan jadi malas bercerita lagi. Jangan suka langsung membantah dan mendebat perkataannya biarpun dia salah. Pakai strategi ketika kita ingin mengoreksi anak. Apresiasi apa yang sudah benar, lalu beri perbaikan untuk apa yang salah. Jadilah active listener bagi anak.

Jika kita ingin anak menghormati ortu, respect lah terlebih dulu kepada anak. Berikanlah contoh lebih dulu bagaimana sikap respect itu. Perlakukan anak bukan sebagai anak kecil, tapi layaknya sebagai orang dewasa yang bertubuh kecil dan masih butuh banyak belajar.

Sekali lagi, saya bukan mau membenarkan perlakuan membentak anak. Jika masih bisa sabar dan pakai cara halus, itu jauh lebih baik. Tapi menggunakan cara halus bukan berarti kita jadi permisif dan selalu mengiyakan begitu saja apapun perilaku anak, yang penting tidak marah-marah dan ribut. Ini juga tidak benar. Sebagai ortu, kita punya misi untuk mendidik anak. Sebetulnya banyak teori dan teknik yang dijelaskan di buku-buku jika kita mau belajar. Sayangnya, kenyataan memang tidak selalu seindah teori, tapi teori parenting tetap sangat berguna.

Kuncinya adalah menjaga hubungan yang positif dengan anak. Bagi saya, selama saya lihat anak-anak masih nyaman untuk bercerita dan bertanya macam-macam kepada saya, berarti hubungan masih aman. Jangan sampai anak menjadi segan, takut, malas untuk becerita atau sekedar bertanya kepada saya, ini akan jadi warning keras buat saya.

Tentu masih jauh dari sempurna, tapi saya terus berusaha.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Tangki Cinta Anak

Ini adalah tulisan yang saya rangkum dari Bab 1-2 buku "Hypnotherapy for Children" karya Adi W. Gunawan, seorang ahli hipnoterapi. Penjelasan teori dalam buku tersebut banyak membukakan mata saya mengenai apa yang sebenarnya menjadi "akar permasalahan" ketika perilaku anak kita bermasalah. Ini sangat membantu saya memahami anak dan bagaimana saya harus bersikap dan memperlakukan anak. Bagi saya ini bukan hanya sekedar teori. Tidak ada yang mengatakan menjadi orang tua itu gampang, tapi tidak ada yang mustahil untuk ditangani selama kita berpikir positif. Karena itu saya pribadi selalu membaca dan membekali diri saya dengan ilmu parenting sebanyak-banyaknya, sambil tidak lupa selalu melakukan introspeksi diri dan open-minded , yaitu berusaha tidak menyangkal jika ada masalah dan mengakui jika kita melakukan kesalahan. Jika orang tua selalu dalam posisi  denial , sesungguhnya anak juga lah yang akan jadi korban, dan itu akan menjadi bumerang bagi orang tuanya se...

Cerita Setelah 4 Bulan Sekolah di Preschool HS

Tahun lalu kami sempat sangat sedih ketika mengetahui anak pertama kami, Rei (saat ini 4 tahun), ditolak masuk di sekolahnya yang sekarang. Tapi sepertinya memang Allah sudah punya rencana lain. Banyak hikmah positif yang bisa diambil dari peristiwa itu. Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, sampai berusaha membuat bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat ahli terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya. Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memberikan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah membuat keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melakukan...

Proses Lebih Penting daripada Hasil (Kaitannya dengan Pola Asuh Anak)

Pola pikir yang lebih mementingkan HASIL ketimbang PROSES sepertinya memang sudah sangat mendarah daging di masyarakat kita. Dari hal kecil yang bisa kita temui sehari-hari, sampai hal besar, semua mencerminkan kalau ‘kita’ memang lebih senang langsung menikmati hasil, tapi enggan atau malas melewati prosesnya. Ini artinya lebih banyak orang yang tidak sabar, cenderung ambil jalan pintas, dan mau gampangnya saja, yang penting hasilnya tercapai. Hasil memang penting, tapi proses untuk mencapai hasil itu lebih penting lagi. Gak percaya? Tidak usah jauh-jauh. Untuk mendapat nilai A di sekolah, banyak cara yang bisa ditempuh. Lebih baik mana, si Ali yang belajar sungguh-sungguh, atau si Mawar yang mendapat nilai atas hasil mencontek? Dua-duanya sama mendapat nilai A. Tapi proses untuk mencapai nilai A itu yang membuat si Ali jauh lebih berkualitas dibanding si Mawar. Di dunia nyata pasti akan kelihatan ketika mereka harus mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki. Memang sudah ...