Langsung ke konten utama

Membaca Buku Itu (tidak) Penting?

Minat Baca Rendah Bisa Pengaruhi ke Banyak Hal Lho!

Sedih sekali memang melihat kenyataan rendahnya minat baca di Indonesia. Apalagi di era medsos seperti sekarang. Orang merasa semua "pengetahuan" sudah terpenuhi dari video-video pendek yang bertebaran di instagram, tiktok, whatsapp, youtube, dsb. Itu semua seolah sudah dianggap sebagai sumber "kebenaran". Membuat semakin malas orang untuk mencari tahu dan melakukan riset sendiri atas segala sesuatunya. Agak gregetan melihat kebiasaan orang kita yang malas membaca, tapi merasa dirinya yang paling tahu.

Saya yang suka membaca sejak kecil jadi merasa seperti orang yang aneh. Bahkan saya pernah didebat bahwa tanpa membaca pun orang bisa tahu banyak. Apa iya?

Jujur saya bingung, tidak punya jawaban saklek, apalagi saya bukan orang yang pandai meyakinkan orang lain. 

Tapi ada satu fakta yang orang harus tahu. 

Di bawah ini adalah negara-negara yang masyarakatnya punya minat baca paling rendah di dunia:

  • Nigeria
  • Mali
  • Sudan
  • Afghanistan
  • Guinea
  • Chad
  • Burkina Faso
  • Ethiopia
  • Haiti
  • Yaman
  • Mozambik
Sementara berikut ini adalah negara-negara yang masyarakatnya punya minat baca tertinggi di dunia:
  • Finlandia
  • Norwegia
  • Islandia
  • Denmark
  • Swedia
  • Belanda
  • Jerman
  • Kanada
  • Amerika Serikat
  • Inggris
  • Jepang
Lihat perbedaannya?

Pertanyaannya, ingin menjadi seperti apa kita? Ingin menjadi seperti apa anak-anak generasi penerus kita nanti? Mau seperti negara di kelompok pertama atau di kelompok kedua? Kalau ditanya dari lubuk hati yang paling dalam, pasti jawabannya semua sama.

Lalu apa usaha kita?

Buat yang sudah dewasa dan 'terlanjur' tidak suka membaca, apa boleh buat, sulit untuk dipaksakan. Sesuai kesadaran masing-masing saja. Yang terpenting, support lah anak-anak kita sebagai generasi penerus, sebisa mungkin usahakan agar mereka akrab dengan kegiatan membaca dan buku.

Jangan abai menganggap bahwa anak-anak juga bisa tahu dan banyak mendapat pengetahuan dari hanya menonton video di medsos. Mungkin ini ada benarnya, karena memang sekarang adalah eranya digital, dan semua informasi ada di genggaman tangan. Untuk hal-hal yang sifatnya dinamis dan cepat berubah seperti tren dan berita terkini, mungkin iya. Tapi seseorang tidak akan bisa memperoleh pengetahuan mendalam dan menjadi ahli dari situ. 

Apa bisa seseorang jadi dokter hanya dengan menonton video di youtube saja tanpa belajar dari literatur alias buku? Menganggap kegiatan membaca tidak penting bagi anak dan membiarkan mereka mendapat pengetahuan dari video-video di medsos saja merupakan keputusan yang sangat celaka.

Membaca itu melibatkan aktivitas otak yang kompleks. Dari mulai mengenali simbol atau huruf, mengejanya menjadi suara, sampai memahami makna tulisan. Karena itu, pada anak-anak, kegiatan membaca akan mengembangkan otak mereka secara lebih aktif dan luar biasa. Daya imajinasi juga akan berkembang dari sini.

Sementara kegiatan menonton sifatnya pasif untuk otak, karena semua sudah tersaji di depan mata.

Mayoritas orang Indonesia konon hanya mampu membaca sampai taraf mengeja saja. Tapi memahami makna tulisan yang banyak? Mohon maaf. Ini konon berlaku bahkan pada mereka yang sudah mengenyam pendidikan tinggi. Menyedihkan.

Kalau berani, coba saja jika punya anak, biasakan dia menonton video sejak bayi setiap hari. Lalu bandingkan dengan anak lain yang sedari bayi dibiasakan dibacakan buku setiap hari juga. Lihat perbedaan perkembangannya ketika besar, dari mulai kecerdasan dan perilakunya.

Bahkan wahyu Al-Quran yang diturunkan pertama kali kepada Nabi Muhammad SAW pun berbunyi 'Iqra" yang artinya bacalah. Skor PISA yang mengukur keberhasilan pendidikan negara-negara di dunia dilakukan dengan salah satunya mengukur literasi (kemampuan membaca) siswa. Membaca bukanlah hal yang sepele.

Jujur, buat saya pribadi, saya juga masih berjuang untuk membuat anak-anak saya sendiri suka membaca. Apalagi di era medsos seperti sekarang ini, tantangannya sangat banyak. Ditambah lingkungan yang seringkali tidak mendukung karena anak melihat orang-orang dewasa di sekitarnya, bahkan ortu sendiri sering menonton video di medsos setiap hari. Tapi ini hal yang saya percaya harus diusahakan.

Demi generasi masa depan yang lebih baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Tangki Cinta Anak

Ini adalah tulisan yang saya rangkum dari Bab 1-2 buku "Hypnotherapy for Children" karya Adi W. Gunawan, seorang ahli hipnoterapi. Penjelasan teori dalam buku tersebut banyak membukakan mata saya mengenai apa yang sebenarnya menjadi "akar permasalahan" ketika perilaku anak kita bermasalah. Ini sangat membantu saya memahami anak dan bagaimana saya harus bersikap dan memperlakukan anak. Bagi saya ini bukan hanya sekedar teori. Tidak ada yang mengatakan menjadi orang tua itu gampang, tapi tidak ada yang mustahil untuk ditangani selama kita berpikir positif. Karena itu saya pribadi selalu membaca dan membekali diri saya dengan ilmu parenting sebanyak-banyaknya, sambil tidak lupa selalu melakukan introspeksi diri dan open-minded , yaitu berusaha tidak menyangkal jika ada masalah dan mengakui jika kita melakukan kesalahan. Jika orang tua selalu dalam posisi  denial , sesungguhnya anak juga lah yang akan jadi korban, dan itu akan menjadi bumerang bagi orang tuanya se...

Cerita Setelah 4 Bulan Sekolah di Preschool HS

Tahun lalu kami sempat sangat sedih ketika mengetahui anak pertama kami, Rei (saat ini 4 tahun), ditolak masuk di sekolahnya yang sekarang. Tapi sepertinya memang Allah sudah punya rencana lain. Banyak hikmah positif yang bisa diambil dari peristiwa itu. Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, sampai berusaha membuat bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat ahli terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya. Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memberikan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah membuat keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melakukan...

Proses Lebih Penting daripada Hasil (Kaitannya dengan Pola Asuh Anak)

Pola pikir yang lebih mementingkan HASIL ketimbang PROSES sepertinya memang sudah sangat mendarah daging di masyarakat kita. Dari hal kecil yang bisa kita temui sehari-hari, sampai hal besar, semua mencerminkan kalau ‘kita’ memang lebih senang langsung menikmati hasil, tapi enggan atau malas melewati prosesnya. Ini artinya lebih banyak orang yang tidak sabar, cenderung ambil jalan pintas, dan mau gampangnya saja, yang penting hasilnya tercapai. Hasil memang penting, tapi proses untuk mencapai hasil itu lebih penting lagi. Gak percaya? Tidak usah jauh-jauh. Untuk mendapat nilai A di sekolah, banyak cara yang bisa ditempuh. Lebih baik mana, si Ali yang belajar sungguh-sungguh, atau si Mawar yang mendapat nilai atas hasil mencontek? Dua-duanya sama mendapat nilai A. Tapi proses untuk mencapai nilai A itu yang membuat si Ali jauh lebih berkualitas dibanding si Mawar. Di dunia nyata pasti akan kelihatan ketika mereka harus mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki. Memang sudah ...