Langsung ke konten utama

The Power of "Listening"

Semua orang pasti setuju bahwa untuk membina hubungan yang baik, kita harus membangun komunikasi yang baik. Kalau kita bicara masalah komunikasi, pasti yang terpikir adalah bagaimana berbicara yang baik, mengungkapkan pendapat, dan menyampaikan apa yang ada di pikiran. Tapi ada satu ilmu komunikasi yang paling penting yang justru sering orang lupakan, yaitu: “Mendengarkan” (Listening).

Ya, “mendengarkan” justru sering diabaikan, bahkan disepelekan. Pasti semua orang berpikir mendengarkan itu gampang, jadi buat apa dibahas. Apa betul?

Saya jadi teringat salah satu quote yang disebarkan orang-orang di media sosial:



“The biggest communication problem is we do not listen to understand. We listen to reply.”

(Terjemahan bebas: “Masalah terbesar dalam berkomunikasi adalah kita tidak mendengarkan untuk memahami. Kita mendengarkan untuk menjawab.”)

Quote singkat tapi menohok.

Ternyata ini dia masalahnya. Pantas saja susah sekali dan rasanya bikin frustrasi menyampaikan ide ke orang terdekat dan selalu dibalas dengan “Tapi kan…” “Ya kan…” sebelum ide tersebut 100% tersampaikan atau dipahami. Ujung-ujungnya pembicaraan jadi berakhir dengan emosi. (Jujur, saya pun sering seperti itu. Habit yang sulit diubah.)

Ok, yang di atas itu curhat pribadi saya. Tapi yang mau saya ceritakan di sini adalah pengalaman saya berurusan dengan anak saya.

Selama 4,5 tahun hidup bersama anak pertama saya, Rei, sejak dia lahir, membuat saya hapal dirinya luar dalam, dan tahu bagaimana meng-handle dirinya. Dari bangun tidur sampai ia tidur lagi di malam hari, di kala dia hepi, riang gembira, tantrum, ngambek, atau emosi.

Tentu bukan sesuatu yang mudah untuk memahami anak yang berkarakter cukup ‘challenging’ satu ini. Butuh semangat belajar serta membuka hati dan pikiran untuk selalu mau introspeksi dan mengoreksi diri sebagai orang tua. Juga pantang menyerah serta percaya dan postive thinking bahwa semua pasti BISA kalau kita berusaha. Sampai sekarang pun saya masih terus belajar.

Tapi dari semua ilmu parenting yang saya tahu dan pelajari, ternyata ada satu ilmu yang menjadi kunci dari semuanya, yaitu ilmu “MENDENGARKAN” atau “LISTENING”.

Kesalahan utama orang tua dalam membangun hubungan dengan anak adalah menganggap si anak adalah anak kecil. 

Maksudnya? Ya tentu saja mereka memang masih anak-anak. Tapi yang dimaksud di sini adalah dalam hal menghargai keberadaan si anak sebagai individu. Seringnya anak dianggap sebagai anak kecil sehingga dianggap pantas untuk dihardik, diteriaki, dimarahi, selalu dilarang, dianggap tidak mampu, dan kurang didengar.

Sejatinya anak juga manusia sama dengan kita orang dewasa, hanya saja mereka belum matang dalam hal fisik dan jiwa. Anak adalah manusia kecil. Karena itu perlakukanlah anak seperti orang dewasa walaupun ia belum besar, karena sebenarnya ia telah banyak mengerti meskipun masih belajar.

Saya belajar bahwa kadang yang dibutuhkan oleh anak hanyalah "ingin didengarkan".

Ketika anak mengatakan makanannya masih panas, hargailah itu, dan jangan ngotot memaksakan pendapat kita. Itu artinya anak sedang mengungkapkan pendapatnya.

Ketika anak mengatakan ingin mainan ini-itu, dengarkan dan jadikan itu obrolan. Mungkin anak hanya sekedar ingin mengungkapkan apa yang ada di benaknya.

Ketika anak sedang bicara dan bercerita, responlah dengan positif, meskipun mungkin yang diomongkan terdengar salah atau terkesan negatif, tapi jangan buru-buru menasehati dan menggurui. Anak butuh rasa nyaman untuk bercerita. Jangan terlalu fokus pada apa yang salah dari ceritanya dan  terlalu ingin buru-buru mengoreksi dan menasehatinya. Lebih baik membiarkan anak bercerita dulu semua apa adanya daripada membuat dia berhenti bercerita karena kita terlalu cepat memberi respon negatif.

Koreksilah anak dengan memberi pertanyaan-pertanyaan, bukan dengan langsung menunjukkan bahwa dia salah, sehingga dia juga akan terlatih untuk terus berpikir. Tunjukkan bahwa kita menghargai pendapatnya.

Galilah lebih lanjut omongan anak dengan pertanyaan-pertanyaan, terutama ketika kita bingung atau ragu dengan apa yang dia maksud. Jangan buru-buru mengernyit dan negative thinking. Terkadang anak punya ‘bahasa’nya sendiri akibat masih terbatasnya kosa kata yang dia miliki.

Ketika anak bertanya, dengarkan sungguh-sungguh, kemudian jawablah sebaik-baiknya semampu kita dan jangan bohongi anak. Jika kita berbohong, cepat atau lambat anak pasti tahu, dan itu akan mengikis rasa percaya dia kepada kita. Jika memang kita tidak tahu jawabannya, katakan sejujurnya atau ajak anak mencari tahu jawabannya bersama-sama.

Dengan selalu merespon segala pertanyaan anak dengan baik, anak pun akan merespon dengan baik jika orang tua bertanya kepadanya. Orang tua adalah contoh bagi anaknya. Kalau kita tidak mau anak hanya menjawab dengan "Tidak mau", "Gak!", "Hm!", atau hanya melengos, kita pun jangan bersikap demikian ketika anak bertanya kepada kita, sesibuk apapun kita. Selalu ingat bahwa hubungan ini bersifat timbal balik

Saya belajar bahwa ketika kita mau lebih mendengarkan anak, anak pun juga akan lebih mau mendengarkan kita. Sangat penting untuk meng-acknowledge dan menghargai apa yang dipikirkan dan dirasakan anak.

Maaf saja, kalau anak seperti suka membantah dan selalu tidak percaya dengan omongan kita, itu artinya selama ini kita juga kurang mendengarkan si anak. Hubungan yang baik selalu bersifat timbal balik.

Namun jangan salah, “mendengarkan” bukan berarti “mengiyakan” segala sesuatu yang dikatakan anak. Definisi umum mendengarkan adalah proses menangkap, memahami (dan mengingat) dengan sebaik-baiknya apa yang dikatakan oleh orang lain. Kata kuncinya adalah memahami. Dengan memahami, kita bisa merespon dengan selayaknya secara positif dan membuat hasilnya juga berakhir dengan positif.

Tidak heran kalau ada yang mengatakan bahwa “mendengarkan” adalah ilmu komunikasi yang paling tinggi.

Tapi saya juga masih belajar untuk menjadi pendengar yang baik. Saya ingin ketika dewasa nanti anak akan merasa nyaman bercerita apapun kepada orang tuanya dan bukan kepada orang lain, meskipun apa yang mau dia sampaikan adalah hal yang buruk.

Mari kita introspeksi diri. Mari kita ubah mindset kita. Siapkah kita mendengarkan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Tangki Cinta Anak

Ini adalah tulisan yang saya rangkum dari Bab 1-2 buku "Hypnotherapy for Children" karya Adi W. Gunawan, seorang ahli hipnoterapi. Penjelasan teori dalam buku tersebut banyak membukakan mata saya mengenai apa yang sebenarnya menjadi "akar permasalahan" ketika perilaku anak kita bermasalah. Ini sangat membantu saya memahami anak dan bagaimana saya harus bersikap dan memperlakukan anak. Bagi saya ini bukan hanya sekedar teori. Tidak ada yang mengatakan menjadi orang tua itu gampang, tapi tidak ada yang mustahil untuk ditangani selama kita berpikir positif. Karena itu saya pribadi selalu membaca dan membekali diri saya dengan ilmu parenting sebanyak-banyaknya, sambil tidak lupa selalu melakukan introspeksi diri dan open-minded , yaitu berusaha tidak menyangkal jika ada masalah dan mengakui jika kita melakukan kesalahan. Jika orang tua selalu dalam posisi  denial , sesungguhnya anak juga lah yang akan jadi korban, dan itu akan menjadi bumerang bagi orang tuanya se...

Cerita Setelah 4 Bulan Sekolah di Preschool HS

Tahun lalu kami sempat sangat sedih ketika mengetahui anak pertama kami, Rei (saat ini 4 tahun), ditolak masuk di sekolahnya yang sekarang. Tapi sepertinya memang Allah sudah punya rencana lain. Banyak hikmah positif yang bisa diambil dari peristiwa itu. Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, sampai berusaha membuat bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat ahli terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya. Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memberikan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah membuat keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melakukan...

Proses Lebih Penting daripada Hasil (Kaitannya dengan Pola Asuh Anak)

Pola pikir yang lebih mementingkan HASIL ketimbang PROSES sepertinya memang sudah sangat mendarah daging di masyarakat kita. Dari hal kecil yang bisa kita temui sehari-hari, sampai hal besar, semua mencerminkan kalau ‘kita’ memang lebih senang langsung menikmati hasil, tapi enggan atau malas melewati prosesnya. Ini artinya lebih banyak orang yang tidak sabar, cenderung ambil jalan pintas, dan mau gampangnya saja, yang penting hasilnya tercapai. Hasil memang penting, tapi proses untuk mencapai hasil itu lebih penting lagi. Gak percaya? Tidak usah jauh-jauh. Untuk mendapat nilai A di sekolah, banyak cara yang bisa ditempuh. Lebih baik mana, si Ali yang belajar sungguh-sungguh, atau si Mawar yang mendapat nilai atas hasil mencontek? Dua-duanya sama mendapat nilai A. Tapi proses untuk mencapai nilai A itu yang membuat si Ali jauh lebih berkualitas dibanding si Mawar. Di dunia nyata pasti akan kelihatan ketika mereka harus mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki. Memang sudah ...