Langsung ke konten utama

Tantangan: Tidak Pernah Marah dan Berkata "Jangan" Pada Anak

Yup, sejak anak pertama saya (Rei) lahir sampai sekarang umur 3,5 tahun, saya belum pernah memarahi dan berkata "jangan" ke dia. Saya sama sekali tidak pernah membentak, meneriaki, atau sekedar menghardik "Hayo!". Bahkan saya tidak pernah memarahinya ketika dia sedang berulah atau berbuat salah. Mungkin pernah beberapa kali saya sedikit lepas emosi, tapi saya selalu berusaha meredam dan tidak menunjukkannya kepada anak. Saya juga tidak pernah melarang atau berkata "Jangan" untuk apapun yang dia lakukan.

Ini memang polah asuh yang saya pilih. Dari membaca sana-sini, saya berkesimpulan dan akhirnya berjanji kepada diri sendiri bahwa saya tidak akan memarahi dan "melarang" anak, setidaknya sampai dia berumur 7 tahun. Tentu bukan berarti saya membiarkan dan memanjakan anak, justru dengan pola asuh seperti ini saya selalu mengontrol dan mengarahkan si anak, namun bukan dengan cara menekan si anak. Kalau di barat sana, inilah yang dinamakan "Positive Parenting" (tapi saya masih harus banyak belajar tentang ini, ayo googling!). Harapannya, anak berkelakuan baik bukan karena takut dengan orang tuanya, tapi karena anak paham dan mengerti, dan dia akan merasa tidak enak sendiri jika berbuat sesuatu yang dia pikir akan membuat orang tuanya sedih atau kecewa kelak.

Ini beberapa alasan yang saya rangkum dari sana sini mengapa saya tidak pernah marah dan berkata "jangan" ke anak:

  1. Pada dasarnya tidak ada anak yang nakal, hanya saja mereka belum mengerti. Anak usia dini masih belum mengerti banyak hal, dan belum tahu konsekuensi dari setiap hal yang mereka lakukan. Anak usia dini belum memiliki intensi, atau maksud untuk berbuat jahat/nakal, apalagi berencana untuk berbuat jahat. Yang mereka lakukan adalah spontanitas belaka, karena mereka belum mengerti mana yang baik dan buruk. Contohnya ketika anak tiba-tiba melempar barang ke kita, itu bukan berarti anak berniat menyakiti kita, tapi itu dilakukan karena dia ingin tahu apa yang akan terjadi, dan dia belum tahu bahwa melempar barang bisa menyakiti atau membuat barang tersebut rusak/pecah. Ini bukan berarti si anak nakal, tapi dia sekedar menyalurkan hasratnya, namun belum tahu konsekuensi akan perbuatannya. Orang dewasa seringkali salah paham terhadap anak karena tidak memahami hal ini.
  2. Anak usia dini adalah peniru yang ulung. Anak belajar dan meniru dari orang tuanya. Anak usia dini akan menyerap semua yang dia lihat dan dengar. Kalau kita sering berperilaku marah, membentak, berteriak, maka perilaku itulah yang akan anak serap dan kelak dia adopsi sebagai perilakunya. Jangan heran kalau anak juga jadi pemarah jika kita juga sering memarahinya.  Inilah kenapa kita harus sabar kepada anak. Kita harus sangat berhati-hati bersikap di depan anak, karena kita menjadi contoh bagi anak kita.
  3. Anak butuh rasa kasih sayang dan diterima orang tuanya setiap saat, bahkan ketika dia berbuat salah. Kebutuhan utama anak adalah rasa aman. Anak butuh pengayoman orang tuanya dalam kondisi apapun. Anak akan berperilaku lebih baik ketika kebutuhan keamanan dan cinta dari orang tuanya terpenuhi. Jika anak dimarahi terus-terusan, makin lama dia makin merasa tidak diterima dan dicintai oleh orang tuanya, dan justru anak bisa semakin menjadi bermasalah. Ketika sudah remaja nanti, jika anak memiliki masalah dalam hidup, tentu kita mau dia memilih untuk datang ke orang tuanya dulu, bukan ke temannya atau orang lain, karena anak merasa aman dan tidak takut dengan orang tuanya (dalam arti positif). Dan ini harus dipupuk sejak dini.
  4. Ketika kita membentak atau memarahi anak, milyaran sel dalam otak anak akan mati. Konon di dalam setiap kepala seorang anak terdapat lebih dari 10 trilyun sel otak yang siap tumbuh. Satu bentakan atau makian mampu membunuh lebih dari 1 milyar sel otak saat itu juga. Satu cubitan atau pukulan mampu membunuh lebih dari 10 milyar sel otak saat itu juga. Sebaliknya 1 pujian atau pelukan akan membangun kecerdasan lebih dari 10 trilyun sel otak saat itu juga. Ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ahli ilmu syaraf, Lise Gliot, dari Chicago Medical School, yang melakukan pemindaian otak pada anaknya sendiri dan melihat pola yang terjadi di otaknya ketika anak dibelai, dibentak, menyusui, dsb.
  5. Sesuai ilmu Hypno-parenting, anak usia dini 0-7 tahun masih sangat dominan pikiran bawah sadarnya, dan ada aturan-aturan tersendiri dalam menghadapi pikiran bawah sadar tersebut. Seperti tulisan saya berjudul Apakah Hypno Parenting Itu, anak usia dini cenderung mengabaikan kata "Jangan" karena pikiran bawah sadar lebih banyak bekerja. Oleh karena itu, kalau dilarang dengan kata "Jangan" justru anak akan terus melakukannya. Ini sesuatu yang ilmiah adanya. Selain itu, jika kita marah dan mengeluarkan kata-kata buruk seperti "Kamu nakal banget sih", "Kamu susah banget dibilangin", itu akan diserap anak dan akhirnya hal itulah yang akan dia percaya sebagai identitas dirinya. Anak akhirnya bisa benar-benar melakoni dirinya sebagai anak yang nakal dan susah diberi tahu. Jadi berhati-hatilah dalam berkata-kata kepada anak-anak. Saya pribadi selalu berusaha mengeluarkan kata-kata positif kepada anak, bahkan ketika anak sedang berulah atau berbuat salah. Aturan lain adalah kita sedapat mungkin melayani dan memenuhi kebutuhan anak. Tentu dalam batas-batas wajar dan tidak sampai memanjakannya. Jika anak memanggil kita, segeralah kita respon, sehingga dia juga akan segera merespon jika kita panggil. Jika anak meminta kita datang, segeralah datang dan jangan beralasan kita sibuk hanya karena kita malas. Jangan suka ajak anak berdebat kalau kita tidak mau anak jadi suka mendebat apa yang kita omongkan. Kelak anak juga akan mudah diajak bekerja sama dan berkomunikasi. 
  6. Dalam Islam pun kita diajarkan untuk memperlakukan anak 0-7 tahun bagaikan raja, sesuai yang diajarkan oleh Ali bin Abi Thalib Ra., khalifah yang terkenal kesetiaannya kepada Rasulullah SAW. Yang dimaksud adalah memberi pelayanan dengan sepenuh hati dan tulus kepada anak, karena ini akan berdampak kepada perkembangan perilakunya. Contohnya bila kita langsung menjawab dan menghampirinya saat ia memanggil kita- bahkan ketka kita sedang sibuk dengan pekerjaan kita – maka ia akan langsung menjawab dan menghampiri kita ketika kita memanggilnya. Saat kita berusaha keras menahan emosi di saat ia melakukan kesalahan sebesar apapun, kelak ia akan mampu menahan emosinya ketika adik/ temannya melakukan kesalahan padanya. Maka ketika kita selalu berusaha sekuat tenaga untuk melayani dan menyenangkan hati anak yang belum berusia tujuh tahun, insya Allah ia akan tumbuh menjadi pribadi yang menyenangkan, perhatian dan bertanggung jawab. Karena jika kita mencintai dan memperlakukannya sebagai raja, maka ia juga akan mencintai dan memperlakukan kita sebagai raja dan ratunya. Ternyata apa yang orang sekarang rumuskan dalam hypno-parenting dkk sejalan dengan apa yang sudah diajarkan ratusan tahun lalu pada jaman Rasulullah SAW. Masya Allah!
Itu semua saya dapat dari membaca buku, artikel-artikel di Internet, maupun masukan dari guru-guru ketika melakukan survei ke sekolah-sekolah.

Memang butuh perubahan paradigma besar-besaran dibanding pola asuh orang tua jaman dulu. Apalagi untuk tidak berkata "Jangan", pasti awalnya kita selalu reflek berkata "Jangan" kalau memberi tahu anak, karena dari dulu kita dicontohkan seperti itu. Kalau kita konsisten, Insya Allah bisa, karena lama-lama otomatis menjadi habit.

Sebetulnya bukan berarti anak kelahiran jaman sekarang berbeda dengan anak jaman dulu, tapi ini karena pengetahuan manusia semakin berkembang, dan para pakar semakin hari semakin mengetahui pola asuh yang baik bagi anak-anak, terutama untuk anak usia dini (0-7 tahun). Orang tua yang bijak adalah orang tua yang mau belajar.

Lalu bagaimana kenyataannya dalam praktek? Dan bagaimana hasilnya?

Semua yang telah disebutkan di atas memang hanyalah teori. Prakteknya tidak semudah itu. Saya juga bukan orang tua yang sempurna, dan masih terus belajar. Bukan hanya 1-2 kali saya merasa tidak bisa menahan emosi. Tapi karena saya paham hal-hal di atas, maka saya selalu berusaha tetap di jalur yang benar. Itulah pentingnya memiliki ilmu.

Justru saya lebih emosi kalau melihat ada yang marah ke anak saya (biasanya mamanya... ehm). Karena saya sudah meredam sedemikian rupa emosi ke anak, kadang pelampiasannya justru ke orang dewasa. Itu yang kadang masih menjadi masalah saya.

Mengenai hasilnya, Alhamdulillah, meskipun masih banyak hal yang harus di-improve, tapi saya merasa Rei semakin hari semakin jadi anak yang baik. Dengan kelincahan dan banyak maunya itu, rentan sekali anak terjerumus jadi nakal kalau pola asuh kita tidak tepat. Nanti mungkin saya ceritakan lebih lanjut di tulisan yang lain.

Saya harap tetap bisa konsisten menjalankan pola asuh seperti ini, bahkan bisa jadi lanjut terus sampai lewat umur 7 tahun (paling tidak positive parenting-nya). Kita lihat nanti. Harapannya, mereka bisa menjadi pribadi yang positif, percaya diri, menerima dan cinta diri sendiri, dan bisa menjadi manusia baik. Aamin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Tangki Cinta Anak

Ini adalah tulisan yang saya rangkum dari Bab 1-2 buku "Hypnotherapy for Children" karya Adi W. Gunawan, seorang ahli hipnoterapi. Penjelasan teori dalam buku tersebut banyak membukakan mata saya mengenai apa yang sebenarnya menjadi "akar permasalahan" ketika perilaku anak kita bermasalah. Ini sangat membantu saya memahami anak dan bagaimana saya harus bersikap dan memperlakukan anak. Bagi saya ini bukan hanya sekedar teori. Tidak ada yang mengatakan menjadi orang tua itu gampang, tapi tidak ada yang mustahil untuk ditangani selama kita berpikir positif. Karena itu saya pribadi selalu membaca dan membekali diri saya dengan ilmu parenting sebanyak-banyaknya, sambil tidak lupa selalu melakukan introspeksi diri dan open-minded , yaitu berusaha tidak menyangkal jika ada masalah dan mengakui jika kita melakukan kesalahan. Jika orang tua selalu dalam posisi  denial , sesungguhnya anak juga lah yang akan jadi korban, dan itu akan menjadi bumerang bagi orang tuanya se...

Cerita Setelah 4 Bulan Sekolah di Preschool HS

Tahun lalu kami sempat sangat sedih ketika mengetahui anak pertama kami, Rei (saat ini 4 tahun), ditolak masuk di sekolahnya yang sekarang. Tapi sepertinya memang Allah sudah punya rencana lain. Banyak hikmah positif yang bisa diambil dari peristiwa itu. Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, sampai berusaha membuat bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat ahli terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya. Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memberikan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah membuat keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melakukan...

Proses Lebih Penting daripada Hasil (Kaitannya dengan Pola Asuh Anak)

Pola pikir yang lebih mementingkan HASIL ketimbang PROSES sepertinya memang sudah sangat mendarah daging di masyarakat kita. Dari hal kecil yang bisa kita temui sehari-hari, sampai hal besar, semua mencerminkan kalau ‘kita’ memang lebih senang langsung menikmati hasil, tapi enggan atau malas melewati prosesnya. Ini artinya lebih banyak orang yang tidak sabar, cenderung ambil jalan pintas, dan mau gampangnya saja, yang penting hasilnya tercapai. Hasil memang penting, tapi proses untuk mencapai hasil itu lebih penting lagi. Gak percaya? Tidak usah jauh-jauh. Untuk mendapat nilai A di sekolah, banyak cara yang bisa ditempuh. Lebih baik mana, si Ali yang belajar sungguh-sungguh, atau si Mawar yang mendapat nilai atas hasil mencontek? Dua-duanya sama mendapat nilai A. Tapi proses untuk mencapai nilai A itu yang membuat si Ali jauh lebih berkualitas dibanding si Mawar. Di dunia nyata pasti akan kelihatan ketika mereka harus mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki. Memang sudah ...