Langsung ke konten utama

Orang Tua Juga Harus Menghormati Anak



Anak harus menghormati orang tua, tentu semua orang tahu ini. Tapi apakah kamu tahu bahwa orang tua juga harus menghormati anak? Waduh, bagaimana maksudnya?

Ini masih terkait dengan buku "Hunt, Gather, Parent" yang sedang saya baca. Dalam buku ini disebutkan, jika kamu adalah orang tua yang sering memaksa anak untuk melakukan ini itu, anak akan tumbuh dengan penuh kemarahan dan menjadi tidak punya rasa hormat  (respect) kepada orang tua dan orang yang lebih tua. Wah, celaka sekali bukan!

Jadi harus bagaimana? 

Solusinya adalah perlakukan anak bukan sebagai anak kecil tapi sebagai orang dewasa yang kecil (small adults). Yang dimaksud di sini adalah berbicara dan menjalin komunikasi dengan mereka layaknya dengan orang dewasa saja, bukan menganggap mereka anak kecil yang lebih rendah.

Kita sebagai orang dewasa tentu tidak suka jika ada orang memaksa kita untuk melakukan ini itu. Nah, sama juga dengan anak-anak, mereka juga tidak suka jika ada orang yang memaksa mereka. Memaksa anak melakukan banyak hal memang seolah cara paling cepat untuk mencapai tujuan, tapi hasilnya justru kontra produktif, karena justru akan memutus jalinan komunikasi yang positif antara ortu dan anak secara jangka panjang. Saya pernah membahasnya juga pada posting ini Kesalahan Terbesar Ortu Dalam Berkomunikasi dengan Anak.

Singkatnya begini, anak itu lebih banyak belajar dari contoh yang dia lihat dari orang tuanya. Jadi kalau kita mau anak respect kepada orang tuanya, kita contohkan bagaimana sikap respect itu. Kalau kita mau anak mendengar omongan orang tuanya, kita contohkan bagaimana menjadi pendengar yang baik itu. Kita tidak bisa mengharapkan anak mengerti itu semua dengan sendirinya.

Jika kita selalu menegur anak-anak dengan nada menghardik, mengomel, atau marah-marah, ya itulah yang nanti akan dicontoh oleh anak dan dipahami sebagai sikap yang diteladani. Jika kita suka marah dan memaksa jika anak tidak menurut, itu juga yang akan dilakukan anak ketika dia sedang ada maunya ke orang tua. Jika kita suka membantah dan mendebat omongan anak, itu juga yang akan dilakukan anak ketika kita sedang berbicara dengan mereka. Sikap anak itu cerminan dari sikap orang tua.

Namun, menghormati anak bukan berarti ortu tunduk pada anak. Tidak pernah memaksa anak melakukan yang kita harapkan, bukan berarti kita menjadi lembek atau angkat tangan terhadap apapun yang anak mau lakukan. Bukan sama sekali! Ini lebih ke masalah cara, kita tidak menggunakan pemaksaan dan hukuman sebagai alat untuk mencapai tujuan yang kita mau, tapi menggunakan pendekatan yang lain. Yaitu dengan komunikasi yang baik, dengan melatih anak, memberi motivasi, encouragement, dst. Mungkin memang perlu usaha lebih keras dan tidak instan, tapi secara jangka panjang hasilnya akan jauh lebih baik.

Menurut saya, dan dari pengalaman pribadi, jika kita merasa anak tidak mau mendengarkan perkataan kita, yang pertama harus diperbaiki adalah cara kita berkomunikasi dan bersikap dengan anak. 

Ini yang selama ini saya lakukan:

  • Menegur, memanggil, mengajak bicara anak seolah kita sedang berbicara dengan teman atau orang dewasa lainnya saja, yaitu dengan nada ramah, baik-baik, tidak menghardik, tidak mengomel. Jadi bukan seolah kita sedang berbicara ke anak kecil yang seolah layak untuk dihardik dan diomeli, atau mungkin sebaliknya terlalu lembek dan tidak tegas.
  • Jangan biasakan mejadikan marah, memaksa, mengomel sebagai alat sehari-hari untuk mengajak atau menyuruh anak melakukan sesuatu.
  • Jadilah pendengar yang baik. Dengarkan segala perkataan anak dengan baik, jangan terlalu reaktif dan asal menjawab perkataan anak. Jika kita kurang mengerti, coba berusaha kita pikir dulu, atau minta anak untuk mengulangi lagi perkataannya. Coba saja bayangkan, jika kita berbicara dengan orang yang selalu membalas perkataan kita, tentu kita akan menjadi bete dan malas. Tentu lebih senang kita berbicara dengan orang yang mau mendengarkan dan memahami perkataan kita. Sama juga dengan anak. Bahkan ketika anak mengatakan sesuatu yang kita rasa negatif, saya biasanya tetap berusaha bersikap menjadi pendengar yang baik dan tidak asal menjawab, lalu sebelum saya berbicara saya akan berpikir dulu kata-kata apa yang pantas saya ucapkan untuk menjawabnya.
  • Jangan suka beradu argumentasi atau mendebat perkataan anak. Ingat ortu adalah contoh, role model, bagi anak. Jika perkataan anak negatif, tidak masuk akal, tidak sesuai keinginan kita, coba dengarkan saja dulu, dan pikirkan siasat untuk menjawabnya. Intinya jika menghadapi anak: think before we talk.
Di atas adalah apa yang sudah saya lakukan. Kalau dalam buku ini sendiri dijelaskan metode yang disebut Practice + Model + Acknowledgment. Artinya kita melatih anak (practice) sambil kita sendiri mencontohkan hal tersebut kepada anak (model), dan ketika anak berhasil mekakukannya kita memberinya pengakuan (acknowledgement). 

Poin-poin yang dijelaskan oleh buku ini mengenai komunikasi dengan anak tanpa marah:
  • Marah kepada anak adalah hal yang tidak berguna dan tidak produktif karena hanya akan menimbulkan ketegangan dan merusak hubungan komunikasi antara anak dan orang tua.
  • Jika kita sering marah, mengomel, dan berteriak ke anak, itu sama saja artinya kita mencontohkan anak untuk melakukan hal yang sama.
  • Sebaliknya ketika kita selalu menghadapi anak dengan tenang dan kalem, kita juga mencontohkan hal itu ke anak, dan itu adalah kesempatan bagi anak untuk menemukan hal yang sama dalam dirinya. Dengan berlatih terus menerus, anak pada akhirnya akan dapat mengontrol emosinya sendiri dan merespon segala hal dengan tenang.
  • Cara mengatasi ketika amarah menghampiri kita:
    • Tetap tenang dan diam sampai rasa marah berlalu
    • Jika amarah tidak juga reda, menjauhlah dan buat jarak dengan anak, dan kembali lagi jika kita sudah merasa tenang.
  • Ubah perspektif dalam memandang anak. Anak memang makhluk yang belum banyak mengerti, sehingga jika mereka tidak bersikap baik, melakukan sesuatu yang tidak rasional, menimbulkan masalah, dan hal kurang baik lainnya, itu memang kodrat anak, dan kita harus siap untuk itu. Jangan berharap anak akan selalu bersikap manis.
  • Jangan pernah berdebat dengan anak. Sekali lagi ingat bahwa ortu adalah contoh bagi anak. Jika kita suka mendebat perkataan anak, sama saja kita melatih anak untuk mendebat orang tuanya. Jika tiba-tiba kita mulai berdebat dengan mereka, cobalah untuk berhenti bicara dan pergi.
  • Jangan memaksa anak untuk melakukan ini itu. Pemaksaan hanya akan merusak hubungan dan komunikasi dengan anak.
Jujur, saya masih harus banyak belajar dan berlatih dalam menahan emosi dan tidak marah ke anak.

Masih ada kelanjutan dari buku ini, mungkin lain kali akan saya tuliskan kembali. Tapi untuk sekarang, yang saya mau sampaikan adalah jika kita ingin anak respect terhadap kita, kita dululah yang harus mencontohkan sikap respect itu ke anak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Tangki Cinta Anak

Ini adalah tulisan yang saya rangkum dari Bab 1-2 buku "Hypnotherapy for Children" karya Adi W. Gunawan, seorang ahli hipnoterapi. Penjelasan teori dalam buku tersebut banyak membukakan mata saya mengenai apa yang sebenarnya menjadi "akar permasalahan" ketika perilaku anak kita bermasalah. Ini sangat membantu saya memahami anak dan bagaimana saya harus bersikap dan memperlakukan anak. Bagi saya ini bukan hanya sekedar teori. Tidak ada yang mengatakan menjadi orang tua itu gampang, tapi tidak ada yang mustahil untuk ditangani selama kita berpikir positif. Karena itu saya pribadi selalu membaca dan membekali diri saya dengan ilmu parenting sebanyak-banyaknya, sambil tidak lupa selalu melakukan introspeksi diri dan open-minded , yaitu berusaha tidak menyangkal jika ada masalah dan mengakui jika kita melakukan kesalahan. Jika orang tua selalu dalam posisi  denial , sesungguhnya anak juga lah yang akan jadi korban, dan itu akan menjadi bumerang bagi orang tuanya se...

Cerita Setelah 4 Bulan Sekolah di Preschool HS

Tahun lalu kami sempat sangat sedih ketika mengetahui anak pertama kami, Rei (saat ini 4 tahun), ditolak masuk di sekolahnya yang sekarang. Tapi sepertinya memang Allah sudah punya rencana lain. Banyak hikmah positif yang bisa diambil dari peristiwa itu. Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, sampai berusaha membuat bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat ahli terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya. Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memberikan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah membuat keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melakukan...

Proses Lebih Penting daripada Hasil (Kaitannya dengan Pola Asuh Anak)

Pola pikir yang lebih mementingkan HASIL ketimbang PROSES sepertinya memang sudah sangat mendarah daging di masyarakat kita. Dari hal kecil yang bisa kita temui sehari-hari, sampai hal besar, semua mencerminkan kalau ‘kita’ memang lebih senang langsung menikmati hasil, tapi enggan atau malas melewati prosesnya. Ini artinya lebih banyak orang yang tidak sabar, cenderung ambil jalan pintas, dan mau gampangnya saja, yang penting hasilnya tercapai. Hasil memang penting, tapi proses untuk mencapai hasil itu lebih penting lagi. Gak percaya? Tidak usah jauh-jauh. Untuk mendapat nilai A di sekolah, banyak cara yang bisa ditempuh. Lebih baik mana, si Ali yang belajar sungguh-sungguh, atau si Mawar yang mendapat nilai atas hasil mencontek? Dua-duanya sama mendapat nilai A. Tapi proses untuk mencapai nilai A itu yang membuat si Ali jauh lebih berkualitas dibanding si Mawar. Di dunia nyata pasti akan kelihatan ketika mereka harus mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki. Memang sudah ...