Langsung ke konten utama

Mengapa Ortu Tidak Boleh Emosi Jika Anak Tidak Mau Makan

Anak balita tidak mau makan, atau yang lebih dikenal dengan istilah GTM (gerakan tutup mulut), tentu membuat ortu was was, khawatir asupan gizinya tidak mencukupi, khawatir anak menjadi lemas, khawatir anak menjadi sakit. Ini seringkali membuat ortu jadi emosi. Ujung-ujungnya ortu menjadi marah-marah, panik, bahkan memaksa anak makan.

Tapi tahukah, sikap emosi ini justru lebih merusak ketimbang bermanfaat. Emosi dan marah bukanlah solusi, tapi petaka. Ortu dituntut harus tetap tenang dan sabar.

Saya coba rangkum alasannya mengapa ortu harus tetap tenang menghadapi kondisi ini:

  1. Boleh dicek dan disurvei, hampir semua anak balita pasti mengalami fase-fase GTM, terutama di atas umur 1 tahun. Jadi bisa dibilang ini adalah kondisi "normal" yang pasti dialami setiap anak. Ini karena kebutuhan kalori anak memang menurun setelah umur 1 tahun. Jadi ortu tidak perlu panik.
  2. GTM hanya bersifat sementara. Anak pasti akan mengejar kebutuhan kalorinya. Jika pagi hanya makan sedikit, mungkin di siang atau sorenya ia akan makan banyak. Jika hari ini tidak mau makan banyak, mungkin besoknya ia akan makan banyak. Jika minggu ini hanya makan sedikit, mungkin minggu depannya ia akan makan banyak lagi. Ikuti saja ritmenya. Jangan pernah mencap anak kita anak yang susah makan, karena kondisi ini hanya temporer. Ortu hanya perlu konsisten menerapkan aturan makan yang benar.
  3. Ingat, makan adalah juga proses belajar untuk anak. Butuh waktu bertahun-tahun sebelum anak punya pola makan teratur dan sehat seperti kita orang dewasa. Panik dengan buru-buru mencekoki anak dengan susu atau kudapan lain justru akan merusak pola makan anak, dan sama saja menhilangkan kesempatan anak untuk belajar. Anak juga sebaiknya tidak ditawari makan setiap saat. Kadang anak memang harus diberi kesempatan merasakan lapar agar dia belajar merasa butuh makan. Memberinya banyak aktifitas yang mengeluarkan kalori juga akan membantunya menjadi lapar.
  4. Anak yang sehat pasti akan lapar. Jadi jangan memaksa anak harus makan saat itu juga kalau anak belum mau makan, kalau dia anak yang sehat pasti akan lapar juga dan mau makan. Sekali lagi, jangan buru-buru mencekoki dengan susu atau kudapan lain, karena makan juga adalah proses belajar. Bagaimana anak bisa semangat makan jika dia tidak pernah diberi kesempatan merasa lapar? 
  5. Ini yang paling penting untuk diingat, efek psikis yang terjadi pada anak akibat ortu sering emosi, marah, dan memaksa anak makan, jauh lebih dahsyat dan susah disembuhkan ketimbang luka fisik akibat tidak makan. Anak bisa menjadi trauma, punya persepsi buruk terhadap kegiatan makan, antipati, bahkan bisa menjadi picky jika ortu sering emosi. Dan ini bisa butuh waktu bertahun-tahun untuk pulih. Luka fisik akibat tidak makan hanyalah rasa lapar dan pasti akan "dibayar" si anak dalam waktu dekat. Hati-hati, emosi negatif dari ortu bisa dirasakan oleh si anak meskipun ortu tidak mengeluarkan kata-kata marah kepada si anak.
  6. Menurut penelitian, puasa atau pembatasan asupan kalori banyak manfaatnya bagi perkembangan otak. Makan yang berlebihan malah dapat menyebabkan perilaku yang menyimpang. Mungkin ini ada hubungannya mengapa anak kerap kali GTM, mungkin itu artinya tubuh anak sedang fokus pada perkembangan otaknya. Referensinya bisa dibaca di sini Neuroscientist Shows What Fasting Does To Your Brain

Yang sering menjadi masalah sebenarnya adalah ortu kerap memaksakan jam makan anak menurut asumsinya sendiri tanpa peduli apakah anak sudah lapar atau belum, dan juga menuntut anak makan sesuai porsi yang ditentukan ortu tanpa melihat kemampuan makan si anak.

Saya pribadi percaya anak balita punya insting pemberian Tuhan yang tidak perlu kita ragukan. Jadi tugas ortu hanya mengikuti saja ritmenya. Tentu tetap usaha, tapi tidak dengan emosi dan panik.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Tangki Cinta Anak

Ini adalah tulisan yang saya rangkum dari Bab 1-2 buku "Hypnotherapy for Children" karya Adi W. Gunawan, seorang ahli hipnoterapi. Penjelasan teori dalam buku tersebut banyak membukakan mata saya mengenai apa yang sebenarnya menjadi "akar permasalahan" ketika perilaku anak kita bermasalah. Ini sangat membantu saya memahami anak dan bagaimana saya harus bersikap dan memperlakukan anak. Bagi saya ini bukan hanya sekedar teori. Tidak ada yang mengatakan menjadi orang tua itu gampang, tapi tidak ada yang mustahil untuk ditangani selama kita berpikir positif. Karena itu saya pribadi selalu membaca dan membekali diri saya dengan ilmu parenting sebanyak-banyaknya, sambil tidak lupa selalu melakukan introspeksi diri dan open-minded , yaitu berusaha tidak menyangkal jika ada masalah dan mengakui jika kita melakukan kesalahan. Jika orang tua selalu dalam posisi  denial , sesungguhnya anak juga lah yang akan jadi korban, dan itu akan menjadi bumerang bagi orang tuanya se

Cerita Setelah 4 Bulan Sekolah di Preschool HS

Tahun lalu kami sempat sangat sedih ketika mengetahui anak pertama kami, Rei (saat ini 4 tahun), ditolak masuk di sekolahnya yang sekarang. Tapi sepertinya memang Allah sudah punya rencana lain. Banyak hikmah positif yang bisa diambil dari peristiwa itu. Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, sampai berusaha membuat bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat ahli terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya. Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memberikan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah membuat keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melakukan

Proses Lebih Penting daripada Hasil (Kaitannya dengan Pola Asuh Anak)

Pola pikir yang lebih mementingkan HASIL ketimbang PROSES sepertinya memang sudah sangat mendarah daging di masyarakat kita. Dari hal kecil yang bisa kita temui sehari-hari, sampai hal besar, semua mencerminkan kalau ‘kita’ memang lebih senang langsung menikmati hasil, tapi enggan atau malas melewati prosesnya. Ini artinya lebih banyak orang yang tidak sabar, cenderung ambil jalan pintas, dan mau gampangnya saja, yang penting hasilnya tercapai. Hasil memang penting, tapi proses untuk mencapai hasil itu lebih penting lagi. Gak percaya? Tidak usah jauh-jauh. Untuk mendapat nilai A di sekolah, banyak cara yang bisa ditempuh. Lebih baik mana, si Ali yang belajar sungguh-sungguh, atau si Mawar yang mendapat nilai atas hasil mencontek? Dua-duanya sama mendapat nilai A. Tapi proses untuk mencapai nilai A itu yang membuat si Ali jauh lebih berkualitas dibanding si Mawar. Di dunia nyata pasti akan kelihatan ketika mereka harus mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki. Memang sudah