Anak
balita tidak mau makan, atau yang lebih dikenal dengan istilah GTM (gerakan
tutup mulut), tentu membuat ortu was was, khawatir asupan gizinya tidak
mencukupi, khawatir anak menjadi lemas, khawatir anak menjadi sakit. Ini
seringkali membuat ortu jadi emosi. Ujung-ujungnya ortu menjadi marah-marah,
panik, bahkan memaksa anak makan.
Tapi tahukah, sikap emosi ini justru lebih merusak ketimbang bermanfaat. Emosi dan marah bukanlah solusi, tapi petaka. Ortu dituntut harus tetap tenang dan sabar.
Saya coba rangkum alasannya mengapa ortu harus tetap tenang menghadapi kondisi ini:
Tapi tahukah, sikap emosi ini justru lebih merusak ketimbang bermanfaat. Emosi dan marah bukanlah solusi, tapi petaka. Ortu dituntut harus tetap tenang dan sabar.
Saya coba rangkum alasannya mengapa ortu harus tetap tenang menghadapi kondisi ini:
- Boleh dicek dan disurvei, hampir semua anak balita pasti mengalami fase-fase GTM, terutama di atas umur 1 tahun. Jadi bisa dibilang ini adalah kondisi "normal" yang pasti dialami setiap anak. Ini karena kebutuhan kalori anak memang menurun setelah umur 1 tahun. Jadi ortu tidak perlu panik.
- GTM hanya bersifat sementara. Anak pasti akan mengejar kebutuhan kalorinya. Jika pagi hanya makan sedikit, mungkin di siang atau sorenya ia akan makan banyak. Jika hari ini tidak mau makan banyak, mungkin besoknya ia akan makan banyak. Jika minggu ini hanya makan sedikit, mungkin minggu depannya ia akan makan banyak lagi. Ikuti saja ritmenya. Jangan pernah mencap anak kita anak yang susah makan, karena kondisi ini hanya temporer. Ortu hanya perlu konsisten menerapkan aturan makan yang benar.
- Ingat, makan adalah juga proses belajar untuk anak. Butuh waktu bertahun-tahun sebelum anak punya pola makan teratur dan sehat seperti kita orang dewasa. Panik dengan buru-buru mencekoki anak dengan susu atau kudapan lain justru akan merusak pola makan anak, dan sama saja menhilangkan kesempatan anak untuk belajar. Anak juga sebaiknya tidak ditawari makan setiap saat. Kadang anak memang harus diberi kesempatan merasakan lapar agar dia belajar merasa butuh makan. Memberinya banyak aktifitas yang mengeluarkan kalori juga akan membantunya menjadi lapar.
- Anak yang sehat pasti akan lapar. Jadi jangan memaksa anak harus makan saat itu juga kalau anak belum mau makan, kalau dia anak yang sehat pasti akan lapar juga dan mau makan. Sekali lagi, jangan buru-buru mencekoki dengan susu atau kudapan lain, karena makan juga adalah proses belajar. Bagaimana anak bisa semangat makan jika dia tidak pernah diberi kesempatan merasa lapar?
- Ini yang paling penting untuk diingat, efek psikis yang terjadi pada anak akibat ortu sering emosi, marah, dan memaksa anak makan, jauh lebih dahsyat dan susah disembuhkan ketimbang luka fisik akibat tidak makan. Anak bisa menjadi trauma, punya persepsi buruk terhadap kegiatan makan, antipati, bahkan bisa menjadi picky jika ortu sering emosi. Dan ini bisa butuh waktu bertahun-tahun untuk pulih. Luka fisik akibat tidak makan hanyalah rasa lapar dan pasti akan "dibayar" si anak dalam waktu dekat. Hati-hati, emosi negatif dari ortu bisa dirasakan oleh si anak meskipun ortu tidak mengeluarkan kata-kata marah kepada si anak.
- Menurut penelitian, puasa atau pembatasan asupan kalori banyak manfaatnya bagi perkembangan otak. Makan yang berlebihan malah dapat menyebabkan perilaku yang menyimpang. Mungkin ini ada hubungannya mengapa anak kerap kali GTM, mungkin itu artinya tubuh anak sedang fokus pada perkembangan otaknya. Referensinya bisa dibaca di sini Neuroscientist Shows What Fasting Does To Your Brain
Yang
sering menjadi masalah sebenarnya adalah ortu kerap memaksakan jam makan anak
menurut asumsinya sendiri tanpa peduli apakah anak sudah lapar atau belum, dan
juga menuntut anak makan sesuai porsi yang ditentukan ortu tanpa melihat
kemampuan makan si anak.
Saya
pribadi percaya anak balita punya insting pemberian Tuhan yang tidak perlu kita
ragukan. Jadi tugas ortu hanya mengikuti saja ritmenya. Tentu tetap usaha, tapi
tidak dengan emosi dan panik.
Baca
juga: Juklak Memberi Makan Anak
Komentar
Posting Komentar