Langsung ke konten utama

Perkara Makan


Efek gak ada mbak sebulan lebih... anak-anak semua jadi terbiasa makan sendiri tanpa disuapi. Plus tertib selalu di meja makan.

Si tengah (5 th) yang tadinya masih ogah2an dan maunya disuapi, sekarang sudah konsisten selalu makan sendiri. Menular ke adiknya si bungsu (2 th 10 bulan) juga sekarang jadi lebih senang makan sendiri di meja makan ketimbang disuapi sambil bermain. Alhamdulillah... sangat mengurangi kerepotan tanpa ART. Dan senangnya, justru makan mereka jadi lebih banyak.

Bicara masalah makan anak, ini memang satu hal yang tricky alias susah-susah gampang, sering jadi momok para ortu, termasuk saya. Dari masalah susah makan, pilih-pilih, dsb. Waktu bisa habis banyak hanya mengurusi masalah makan anak saja, apalagi jika masih balita.

Berhubung saya sekarang WFH dan sering di rumah hanya bersama anak-anak saja, saya harus putar otak. Strategi yang saya terapkan dan ternyata sangat efektif membuat anak-anak mau makan adalah dengan "menunggu" mereka lapar.

Sudah jam 12 siang, waktunya harus makan? Gak harus. Tanya saja si anak, atau lihat tanda-tandanya apakah mereka sudah lapar atau belum. Lebih baik menunggu mereka lapar daripada memaksakan harus makan saat itu juga. Mundur makan di jam 1 atau jam 2 gak masalah. Makan bukan perkara kejar setoran.

Gak usah panik kalau jam 12 siang mereka belum mau makan. Anak yang sehat pasti nantinya akan lapar juga. Merasakan kenyang dan lapar adalah bagian dari belajar, sebelum pola makan mereka benar-benar teratur nantinya.

Mematok anak harus makan pada jam tertentu tanpa peduli dia sudah lapar atau belum, seringnya justru berujung ortu jadi emosi, karena jika belum lapar, anak biasanya jadi susah makan. Ujung-ujungnya kita pikir anak tidak mau menu makanan itu, lalu sibuk membuatkan atau mencarikan makanan lain, yang penting anak mau makan. Akhirnya makan telor lagi, makan perkedel lagi. Waktu habis banyak mengurus satu anak saja. Ujung-ujungnya kita juga jadi punya persepsi dan melabel si anak susah makan, maunya hanya makan itu-itu saja. Padahal hanya karena anak belum lapar sehingga tidak nafsu makan.

Bagaimana anak bisa antusias makan kalau dia tidak pernah punya kesempatan merasakan lapar.

Tentunya kita juga harus mengatur kapan memberi mereka asupan. Jangan sudah menjelang jam 12 siang, kita malah membiarkan mereka makan cemilan berat atau susu. Minimal 1 jam sebelum makan, perut mereka harus dikosongkan.

Memberi mereka aktifitas fisik dan membiarkan mereka lincah bergerak, itu juga penting. Dengan begitu kalori mereka terbakar, metabolisme mereka meningkat, mereka jadi lebih sehat, ujung-ujungnya juga pengaruh ke nafsu makan.

Anak lagi suka memanjat, loncat-loncat, lari ke sana ke mari, jangan lihat itu sebagai hal berbahaya yang negatif. Energi berlebih mereka perlu tersalurkan. Aktif berarti sehat. Jangan sampai kita malah lebih suka melihat anak hanya duduk menonton TV atau bermain gadget sepanjang hari ketimbang melihat mereka bergerak lincah. Padahal justru lincahnya itulah yang membuat mereka sehat. Yang penting pastikan semua aman.

Saya juga mempercayakan porsi makan kepada masing-masing anak, tidak memaksa. Mereka yang tahu kapan perut mereka sudah kenyang, mereka yang bisa merasakan, bukan kita. Mereka yang tahu mereka bisa makan sebanyak apa, bukan kita. Saya percaya intuisi anak.

Jika mereka sudah terlihat makan cukup dan menolak melanjutkan meskipun sudah ditawari makanan lain, saya pun akan menghargai dan menganggap makan mereka sudah selesai. Paling saya akan bertanya apa mereka sudah betul-betul kenyang. Setelah itu lebih baik fokus ke jadwal sehat berikutnya, seperti bermain, makan buah (jangan langsung setelah makan ya), baca buku, dll. Jadi waktu tidak habis bertele-tele hanya mengurusi makan saja.

Memang betul mereka masih dalam masa pertumbuhan, tapi bukan berarti mereka harus makan terus menerus. Bukan hanya fisik yang perlu tumbuh. Kita sendiri pun tidak mau kan kalau disuruh makan terus sebanyak-banyaknya, kenapa harus memaksa anak-anak. Saya juga tidak setuju pandangan orang yang menganggap bahwa anak sehat itu harus gemuk. Bahkan banyak ortu yang berusaha membuat anaknya gemuk segemuk-gemuknya. Padahal kita sendiri gak mau kalau disuruh gemuk, malah inginnya langsing, lalu kenapa ke anak justru sebaliknya, gak adil dong.

Yang paling penting adalah anak sehat. Anak gemuk bukan identik dengan sehat. Sebaliknya, overweight atau obesitas justru akan menimbulkan masalah kesehatan ke depannya.

Kalaupun di satu waktu terlihat mereka hanya makan sedikit, pasti akan dibayar di jam makan berikutnya, atau di hari berikutnya, atau di minggu berikutnya. Intinya, mereka akan makan sesuai kalori yang mereka butuhkan. Justru itulah sebetulnya kebiasaan makan yang sehat.

Berhubung saya harus berbagi waktu dengan WFH (work from home), jadi saya harus berusaha mencari cara yang paling efektif dan efisien, tetap santai, tidak ngoyo dalam urusan makan anak-anak ini. Alhamdulillah, terbukti sejauh ini strategi saya berhasil. Tidak pakai emosi setiap kali makan, hemat waktu, tidak perlu berlama-lama di waktu makan, tapi anak tetap makan yang cukup (bahkan banyak).

Apa selalu berjalan mulus? Tentu tidak. Yang sulit adalah karena jam makan tiap anak jadi sering berbeda-beda. Belum lagi keinginan makan mereka yang seringnya berbeda juga. Ini masih jadi pe-er tentunya.

Tapi senang sekali sudah melihat banyak perkembangan pada anak-anak selama tidak ada mbak ini. Bahagia itu sederhana.

Semoga akan tetap konsisten seterusnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Tangki Cinta Anak

Ini adalah tulisan yang saya rangkum dari Bab 1-2 buku "Hypnotherapy for Children" karya Adi W. Gunawan, seorang ahli hipnoterapi. Penjelasan teori dalam buku tersebut banyak membukakan mata saya mengenai apa yang sebenarnya menjadi "akar permasalahan" ketika perilaku anak kita bermasalah. Ini sangat membantu saya memahami anak dan bagaimana saya harus bersikap dan memperlakukan anak. Bagi saya ini bukan hanya sekedar teori. Tidak ada yang mengatakan menjadi orang tua itu gampang, tapi tidak ada yang mustahil untuk ditangani selama kita berpikir positif. Karena itu saya pribadi selalu membaca dan membekali diri saya dengan ilmu parenting sebanyak-banyaknya, sambil tidak lupa selalu melakukan introspeksi diri dan open-minded , yaitu berusaha tidak menyangkal jika ada masalah dan mengakui jika kita melakukan kesalahan. Jika orang tua selalu dalam posisi  denial , sesungguhnya anak juga lah yang akan jadi korban, dan itu akan menjadi bumerang bagi orang tuanya se

Cerita Setelah 4 Bulan Sekolah di Preschool HS

Tahun lalu kami sempat sangat sedih ketika mengetahui anak pertama kami, Rei (saat ini 4 tahun), ditolak masuk di sekolahnya yang sekarang. Tapi sepertinya memang Allah sudah punya rencana lain. Banyak hikmah positif yang bisa diambil dari peristiwa itu. Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, sampai berusaha membuat bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat ahli terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya. Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memberikan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah membuat keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melakukan

Proses Lebih Penting daripada Hasil (Kaitannya dengan Pola Asuh Anak)

Pola pikir yang lebih mementingkan HASIL ketimbang PROSES sepertinya memang sudah sangat mendarah daging di masyarakat kita. Dari hal kecil yang bisa kita temui sehari-hari, sampai hal besar, semua mencerminkan kalau ‘kita’ memang lebih senang langsung menikmati hasil, tapi enggan atau malas melewati prosesnya. Ini artinya lebih banyak orang yang tidak sabar, cenderung ambil jalan pintas, dan mau gampangnya saja, yang penting hasilnya tercapai. Hasil memang penting, tapi proses untuk mencapai hasil itu lebih penting lagi. Gak percaya? Tidak usah jauh-jauh. Untuk mendapat nilai A di sekolah, banyak cara yang bisa ditempuh. Lebih baik mana, si Ali yang belajar sungguh-sungguh, atau si Mawar yang mendapat nilai atas hasil mencontek? Dua-duanya sama mendapat nilai A. Tapi proses untuk mencapai nilai A itu yang membuat si Ali jauh lebih berkualitas dibanding si Mawar. Di dunia nyata pasti akan kelihatan ketika mereka harus mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki. Memang sudah