Langsung ke konten utama

Mengenalkan Konsep Uang Pada Anak

Saya berusaha mengenalkan konsep "uang" kepada anak saya sejak dini. Bukan apa-apa, ini demi mencegah anak sering merengek minta dibelikan mainan atau barang yang dinginkannya, apalagi ketika pergi ke mal, toko mainan, supermarket, atau tempat lain. Ini juga menjadi bentuk kejujuran saya kepada anak-anak, karena saya pantang membohongi anak.

Alhamdulillah, sejauh ini strategi saya cukup efektif meredam hal itu.

Memang bukan hal yang mudah, karena si anak belum bisa berhitung, bahkan belum mengenal konsep angka. Tapi yang saya sampaikan adalah pemahaman tentang konsep uang, bukan uangnya.

Intinya, saya memberi pemahaman bahwa:
  1. Untuk membeli sesuatu itu perlu menggunakan uang. 
  2. Uang bukanlah sumber yang tak terbatas dan bisa dihambur-hamburkan begitu saja. 
  3. Untuk mendapatkan sesuatu itu perlu usaha.

Tentu cara penyampaiannya tidak segamblang menggunakan kata-kata di atas, tapi dengan cara dan bahasa yang dimengerti oleh anak kecil sesuai usianya.

Awal mengenalkannya sesederhana mengajak anak melihat kita membayar di kasir setiap kali kita membeli sesuatu di toko. Sebelum dia bisa menggunakan atau memakan apa yang dia ambil dari rak toko, kita ajak dia untuk membayarnya dulu di kasir.

Di lain kesempatan, saya memberi pemahaman bahwa setiap barang di toko itu ada harganya, dan harganya bisa mahal atau murah. Kalau murah, mungkin bisa langsung kita beli, dan kalau mahal bukan berarti kita tidak bisa membelinya, tapi perlu ada usaha dulu, yaitu menabung (saya pantang mengatakan tidak punya uang, karena itu seolah menjadi doa untuk diri sendiri). Saya biasa memberi pilihan atau perbandingan dengan barang lain, agar dia paham seberapa mahal murah itu. Karena jika saya sebut angka, dia juga belum mengerti.

Ketika anak minta dibelikan mainan di mal, saya tidak buru-buru menolaknya, tapi saya ajak dia diskusi. Saya tanya itu mainan apa, bagaimana cara mainnya, apa manfaatnya, kenapa dia suka. Dari situ diskusi bisa berkembang, termasuk melihat harganya. Jika harganya mahal, dan itu bukan kebutuhan, saya beri pilihan dan pengertian, serta mengajak anak berpikir kembali. Beberapa kali anak saya akhirnya mengerti dan tidak jadi membeli, atau memutuskan untuk menghemat uang untuk keperluan lainnya. Mengajak diskusi adalah salah satu trik, karena kalau saya langsung menolak dan berkata tidak, anak bisa langsung ngambek atau mungkin malah tantrum, yang justru malah makin susah untuk diajak bicara.

Sejalan dengan itu, saya juga berusaha mengajarkan anak untuk selalu bersyukur.

Bersyukur artinya tetap bahagia dengan kondisi yang berkecukupan, tidak harus banyak atau berlebih. Asalkan cukup, itu sudah Alhamdulillah. Karena itu, saya sering mengajak anak berucap "Alhamdulillah" ketika kita atau dia mendapat sesuatu, meskipun itu hal kecil. Jika masih ada cemilan yang bisa dimakan meskipun sedikit, saya bilang Alhamdulillah masih ada. Kalau kami memberi anak mainan, mengajak liburan, atau yang lain, kadang saya berujar "Alhamdulillah papa & mama ada rejeki, jadi bisa beli mainan atau jalan-jalan". Saya juga sering bercerita bahwa banyak orang di luar sana yang kondisinya jauh lebih tidak beruntung dibanding kita, yang untuk mencari makan saja susah.

Hal-hal di atas menurut saya penting sekali untuk ditanamkan sejak dini, sehingga anak tidak berkembang menjadi manusia yang selalu merasa kekurangan dan tidak pernah puas. Jika tidak dilatih sejak kecil, dan ortu abai dengan hanya bertindak reaktif saja memenuhi semua permintaan si anak agar tidak menangis, kelak anak akan berkembang menjadi manusia yang manja dan merasa segala keinginannya harus terpenuhi. Celakanya ketika dia dewasa dan tidak bisa bergantung lagi pada orang tuanya, apa yang akan terjadi? Dia akan cenderung menghalalkan segala cara untuk memenuhi semua keinginannya itu. Dan inilah bibit-bibit terjadinya korupsi atau tindakan penyelewengan lainnya demi meraih keinginan duniawi. Sangat mengerikan bukan efeknya?

Memang perlu usaha yang keras dan terus menerus, serta tidak lelah untuk selalu mengingatkan anak. Sejauh ini progresnya sudah kelihatan. Saya bisa mengajak anak-anak bermain di toko mainan besar di mal seharian, tanpa mereka merengek-rengek minta dibelikan mainan, dan sering kita pun pulang tanpa membeli apa-apa. Jika diajak ke supermarket, mereka pun cenderung tidak meminta yang aneh-aneh, hanya barang-barang yang memang sudah biasa kita beli.

Tentu bukan berarti semuanya selalu berjalan mulus. Beberapa kali memang mereka masih kedapatan merengek minta sesuatu. Tapi menurut saya itu hal yang wajar, asal tidak menjadi kebiasaan. Toh memang mereka masih anak-anak yang emosinya belum matang dan masih berjiwa impulsif. Justru di sinilah tugas orang tua untuk mendidik terus menerus, jangan sampai lepas tangan. Jika mau usaha, pasti bisa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Tangki Cinta Anak

Ini adalah tulisan yang saya rangkum dari Bab 1-2 buku "Hypnotherapy for Children" karya Adi W. Gunawan, seorang ahli hipnoterapi. Penjelasan teori dalam buku tersebut banyak membukakan mata saya mengenai apa yang sebenarnya menjadi "akar permasalahan" ketika perilaku anak kita bermasalah. Ini sangat membantu saya memahami anak dan bagaimana saya harus bersikap dan memperlakukan anak. Bagi saya ini bukan hanya sekedar teori. Tidak ada yang mengatakan menjadi orang tua itu gampang, tapi tidak ada yang mustahil untuk ditangani selama kita berpikir positif. Karena itu saya pribadi selalu membaca dan membekali diri saya dengan ilmu parenting sebanyak-banyaknya, sambil tidak lupa selalu melakukan introspeksi diri dan open-minded , yaitu berusaha tidak menyangkal jika ada masalah dan mengakui jika kita melakukan kesalahan. Jika orang tua selalu dalam posisi  denial , sesungguhnya anak juga lah yang akan jadi korban, dan itu akan menjadi bumerang bagi orang tuanya se...

Cerita Setelah 4 Bulan Sekolah di Preschool HS

Tahun lalu kami sempat sangat sedih ketika mengetahui anak pertama kami, Rei (saat ini 4 tahun), ditolak masuk di sekolahnya yang sekarang. Tapi sepertinya memang Allah sudah punya rencana lain. Banyak hikmah positif yang bisa diambil dari peristiwa itu. Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, sampai berusaha membuat bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat ahli terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya. Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memberikan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah membuat keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melakukan...

Proses Lebih Penting daripada Hasil (Kaitannya dengan Pola Asuh Anak)

Pola pikir yang lebih mementingkan HASIL ketimbang PROSES sepertinya memang sudah sangat mendarah daging di masyarakat kita. Dari hal kecil yang bisa kita temui sehari-hari, sampai hal besar, semua mencerminkan kalau ‘kita’ memang lebih senang langsung menikmati hasil, tapi enggan atau malas melewati prosesnya. Ini artinya lebih banyak orang yang tidak sabar, cenderung ambil jalan pintas, dan mau gampangnya saja, yang penting hasilnya tercapai. Hasil memang penting, tapi proses untuk mencapai hasil itu lebih penting lagi. Gak percaya? Tidak usah jauh-jauh. Untuk mendapat nilai A di sekolah, banyak cara yang bisa ditempuh. Lebih baik mana, si Ali yang belajar sungguh-sungguh, atau si Mawar yang mendapat nilai atas hasil mencontek? Dua-duanya sama mendapat nilai A. Tapi proses untuk mencapai nilai A itu yang membuat si Ali jauh lebih berkualitas dibanding si Mawar. Di dunia nyata pasti akan kelihatan ketika mereka harus mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki. Memang sudah ...