Langsung ke konten utama

My Love & Hate Relationship with Milk

Saya penikmat dan penyuka susu sapi sejak kecil. Saya termasuk yang paling rajin minum susu di antara kakak-kakak saya. Ketika saya sudah bekerja dan punya penghasilan sendiri, saya pun masih rajin membeli dan rutin meminum susu.

Ketika saya punya anak, saya pun senang kalau anak saya juga senang minum susu. Ya iya, apalagi semua ibu-ibu pasti bilang: “Gak apa-apa makannya susah, yang penting minum susunya kuat.” Dan ‘Alhamdulillah’ anak pertama saya minum susunya kuat sekali. Tentu saya senang sekali, apalagi kalau sudah dipuji ibu-ibu lain yang melihat anak saya yang montok dan suka susu.

Tapi itu dulu. Sekarang semua berubah 180 derajat setelah saya mengetahui fakta-fakta sebenarnya tentang susu sapi. Dan setelah saya amati, semuanya cocok dengan apa yang saya lihat dan alami selama ini.

Yang menjadi pertanyaan yang mengusik adalah: apakah saya yang peminum susu ini sehat? Apakah anak pertama saya yang minum susunya kuat itu sehat? Sayangnya jawaban untuk semuanya adalah: TIDAK.

Saya bukan tipe orang yang mudah percaya begitu saja ketika melihat artikel atau tulisan yang di-share orang di Facebook atau media sosial lainnya. Saya termasuk tipe yang suka melakukan cross check dan mencari sumber-sumber yang saya anggap kredibel. Saya tipe orang yang mempertimbangkan matang-matang sebelum memutuskan sesuatu. Perubahan pandangan saya tentang susu sapi adalah murni dari diri sendiri, berdasarkan riset dengan mengumpulkan info-info dan melakukan pengamatan.

Ternyata di luar negri sana, bahkan di Amerika Serikat yang tingkat konsumsi susunya sangat tinggi, susu sapi sudah lama dipertanyakan khasiat dan keutamaannya bagi kesehatan. Bahkan riset-riset banyak yang menunjukkan hal sebaliknya dari yang selama ini orang pahami dan percaya.

Belakangan saya baru mengetahui bahwa di Indonesia pun sudah lama muncul gerakan-gerakan menentang konsumsi susu sapi. Salah satunya dari tokoh Food Combining, Erykar Lebang, dan dari seorang dokter yang menurut saya sangat idealis, yaitu Dr. Tan Shot Yen. Dokter Tan adalah dokter yang mengobati pasiennya melalui pendekatan holistik atau melihat kesehatan tubuh manusia secara utuh dan menyeluruh. Beliau adalah dokter yang reputasinya sudah tidak diragukan lagi.

Saya pun semakin yakin dengan keputusan saya untuk menentang susu sapi bagi keluarga dan anak-anak saya. Informasi tentang buruknya susu sapi pernah saya rangkum dalam tulisan ini Mengapa Kita Harus Berhenti Mendewa-dewakan Susu Sapi

Ditambah lagi, di bawah ini fakta-fakta dan pengalaman nyata yang saya lihat dan alami yang membuat saya semakin mantap untuk menjauhkan keluarga saya dari susu sapi:

1. Pengalaman dengan anak pertama saya waktu dia masih rutin dan banyak minum susu sapi, yang terjadi adalah: sering sakit hampir tiap bulan, gampang sekali muntah, tidur malam sering gelisah, sembelit atau susah BAB. Bandingkan dengan sekarang setelah berhenti rutin minum susu: tidak gampang sakit, tidur malam jauh lebih nyenyak, BAB lebih gampang dan teratur. Makan es krim sekali-sekali pun tidak masalah lagi (padahal biasanya langsung sakit).

2. Pengalaman ketika anak pertama sakit, sembuhnya lebih susah dan lama ketika banyak diberi susu. Bahkan pernah sampai demam berhari-hari, padahal hanya sakit flu. Terakhir waktu dia sakit, saya menolak memberinya susu, malah dia bisa pulih lebih cepat.

3. Anak kedua saya pernah diam-diam diberi susu formula rutin, ternyata malah kondisinya drop. Sakit flu biasa bisa sampai demam berhari-hari, padahal hanya flu. Sempat 1 hari tidak minum sufor karena tidak mau, dan kondisinya tampak membaik. Tapi kemudian terlihat sekali kondisinya drop kembali ketika diberi sufor lagi. Padahal selama tidak konsumsi sufor, dia hanya pernah sakit 3 kali dalam setahun, yang menurut saya merupakan rekor tersendiri (konon statistik rata-rata balita sakit 5-6 kali dalam setahun) dan ketika sakit pun dia biasanya cepat pulih. Kondisi dropnya sangat terlihat sekali ketika diberi sufor.

4. Kalau memang susu sapi bagus untuk pertumbuhan tulang dan tinggi tubuh, kakak laki-laki saya tidak mungkin tumbuh setinggi itu, karena dia tidak doyan susu. Nyatanya dia bisa tumbuh sangat tinggi meskipun tidak suka minum susu. Sementara saya yang doyan dan rajin minum susu sampai dewasa malah tingginya hanya segini-segini saja (alias pendek).

5. Saya yang rajin minum susu tidak bisa dikatakan sehat. Dalam keluarga malah bisa dibilang saya tergolong yang lemah fisik. Mudah sakit, sering sakit kepala, dan waktu kecil gampang mimisan. 10 tahun terakhir ini malah saya menderita semacam alergi kulit yang tidak kunjung sembuh. Apakah itu efek jangka panjang karena rutin minum susu? Bisa jadi. Teorinya, susu mempunya sifat Acid (asam, ph < 7)) dan akan membuat tubuh peminumnya menjadi bersifat Acid. Kebanyakan alergi yang terjadi adalah karena keseimbangan asam basa tubuh tidak baik, alias cenderung asam. Yang jelas sekarang saya stop sama sekali susu dan saya merasa lebih sehat, bahkan alergi kulit saya sembuh sejak saya menjalankan Food Combining (salah satu syarat Food Combining adalah stop susu). Kakak saya yang tidak doyan susu malah bisa dibilang secara keseluruhan lebih sehat dan kuat sejak kecil dibanding saya.

6. Saya mendengar cerita bahwa keponakan dari istri saya menjadi gampang sakit bertubi-tubi begitu dia berhenti minum ASI (disapih) di usia 2 tahun. Menurut saya ada yang salah di sini. Logikanya, sejalan dengan anak minum ASI sampai 2 tahun, seiring itu pula sistem imun tubuhnya akan terbangun semakin kuat dan tidak seharusnya begitu saja runtuh ketika disapih dan berhenti minum ASI. Disapih dan berhenti minum ASI adalah siklus alami yang harus dilalui setiap anak manusia, dan seharusnya tidak mencelakakannya. Kemungkinan besar biang keladinya adalah susu formula. Sekarang anak itu masih rutin minum susu, dan saya pernah mendengar kalau kadang dia menderita radang amandel.

7. Ibu saya seumur-umur tidak pernah doyan minum susu sampai sekarang. Apakah kemudian beliau tidak sehat? Alhamdulillah, beliau saat ini sudah mencapai usia 80 tahun dan masih sangat sehat untuk ukuran seusianya. Beliau masih bisa berdiri tegap dan berjalan, tidak bungkuk atau tertatih-tatih. Kenyataannya beliau tidak menunjukkan tanda-tanda menderita penyakit tulang yang parah. Beliau hanya menderita sedikit pengapuran di persendian lututnya, yang menurut saya wajar untuk orang tua seusianya. Kalau memang susu satu-satunya sumber untuk kesehatan tulang, beliau tidak akan bisa sesehat ini.

Semua bukti-buktinya menurut saya sangat nyata sekali. Dengan fakta-fakta sejelas itu, apakah masih percaya dengan susu sapi? Apakah masih mau menutup mata?

Yang kemudian menjadi pertanyaan banyak orang mungkin adalah kenapa susu sapi masih begitu populer?

Jawabannya adalah karena industri susu sudah sedemikian besar di Indonesia, bahkan di dunia. Para produsen susu adalah perusahaan kaya yang mampu menggelontorkan dana kampanye sangat besar. Bahkan dokter-dokter pun bisa mereka rangkul. Tapi apakah mereka sesungguhnya peduli dengan kesehatan anak-anak Indonesia? Yang jelas, yang mereka pedulikan adalah meraup untung sebesar-besarnya. Pernahkah terpikir, apakah susu formula yang diformulasikan di laboratorium pernah diujikan kepada bayi sungguhan sebelum diedarkan ke pasaran? Tidak pernah! Orang tua mana yang mau memberikan bayinya sebagai bahan percobaan? Yang ada mereka langsung melempar produknya ke pasaran. Dan anak-anak kitalah para konsumennya yang akan menjadi “bahan percobaan” nyata mereka. Dan kita tidak pernah tahu apa efek jangka menengah dan panjang yang akan diakibatkan.

Menurut Dr. Tan, makanan semakin sehat jika semakin alami, yaitu makanan yang makin menyerupai wujud aslinya di alam. Makanan semakin diolah maka akan semakin tidak sehat (contohnya makanan kemasan). Karena itu saya sangat menentang susu formula. Sudah susu sapi, bentuknya bubuk pula. Tidak ada yang bisa diharapkan dari situ. Semuanya adalah hasil sintetis buatan laboratorium. Bahkan saya pernah membaca, dokter yang bekerja membuat formula di laboratorium produsen sufor pun tidak berani memberikan produk susu formulanya ke anak-anaknya sendiri.

Kehadiran susu formula masih dibutuhkan, tapi hanya krusial untuk anak usia di bawah 1 tahun, itupun untuk kondisi-kondisi khusus dan sangat mendesak di mana ASI tidak bisa diberikan kepada si anak, entah karena alasan medis atau lainnya. Bayi usia 0-6 bulan masih belum bisa menerima asupan lain selain susu. Di sinilah susu formula bisa menjadi penolong dalam kondisi-kondisi mendesak tadi. Tapi lain cerita untuk bayi usia 1 tahun ke atas, karena anak sudah bisa menerima asupan makanan.

Yang mengatakan bahwa anak usia 1 tahun ke atas harus diberi susu formula hanyalah iklan dari produsen susu. Ya tentu saja, karena mereka punya kepentingan untuk menjual produknya dan meraup untung sebanyak-banyaknya. Hanya di Indonesia susu formula ada bermacam-macam untuk usia 1, 2, 3, dst. Tujuannya tentu supaya konsumen seolah merasa terus membutuhkannya.

Pernah ketika saya berkonsultasi ke seorang dokter anak, dokter tersebut menyarankan memberi anak saya susu formula merek E******w. Tapi tahukah, saya perhatikan mainan-mainan yang ada di ruang tunggu dokter itu disponsori oleh produk susu bersangkutan. Jadi menurut saya bahkan dokter pun sudah komersil dan punya kepentingan.

Saya percaya Allah sudah menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia dari alam. Susu formula baru ditemukan pada tahun 1960-an. Lalu kenapa sesuatu yang baru ditemukan pada pertengahan abad lalu sekarang dianggap sesuatu yang wajib diberikan kepada anak balita? Apakah berarti anak-anak yang lahir sebelum tahun 60-an tidak ada yang survive dan sehat karena belum ada susu formula? Ini tidak lain hanyalah keberhasilan kampanye komersil dari para produsen susu. Susu UHT pun tidak lebih baik karena sama-sama susu olahan yang sudah kehilangan semua enzimnya. Saya percaya yang alami (dari Allah langsung) pasti lebih baik (dan saya sudah membuktikannya).

Yang juga saya sayangkan, masih banyak orang Indonesia yang belum tahu bahwa konsep 4 sehat 5 sempurna sudah tidak berlaku lagi. Akibatnya masih banyak orang yang keukeuh mendewa-dewakan susu sapi, karena masih terhipnotis istilah “sempurna” pada konsep itu. Padahal pemerintah sejak tahun 2000-an sudah membuang konsep itu dan menggantinya dengan PUGS (Pedoman Umum Gizi Seimbang) yang tidak lagi menyebut susu sapi sebagai asupan unggul dan utama. Sangat disayangkan pemerintah tidak gencar mengkampanyekan hal ini seperti ketika masih 4 sehat 5 sempurna dulu. Apakah ini karena ada campur tangan industri susu juga? Entahlah.

Sedih juga ketika saya jadi ditentang habis-habisan, dicurigai, dan dianggap aneh ketika mengungkapkan tidak mau memberi anak susu sapi. Argumen yang saya dapatkan selalu adalah karena anak kecil butuh susu dan selama ini anak-anak lain tidak masalah minum susu. Padahal menurut pengamatan saya tidaklah demikian. Mungkin kita saja yang tidak/belum sadar bahwa masalah kesehatan yang ada selama ini sebenarnya berpangkal pada susu sapi. Memang betul anak butuh susu, tapi yang dibutuhkan hanyalah ASI, bukan susu sapi. Saya hanya mau berusaha memilihkan yang terbaik untuk anak-anak saya.

Kesimpulannya, apa yang sudah berlaku mainstream belum tentulah benar dan terbaik. Sebagai orang tua kita harus kritis dan membekali diri dengan ilmu. Jangan percaya begitu saja dan menelan mentah-mentah kampanye iklan. Kita harus selalu update ilmu, dan tidak stagnan pada sesuatu yang sudah usang. Masihkah kita mau tutup mata, walau sebetulnya anak yang jadi korban?

Sources:
Harvard Milk Study: It Doesn't Do A Body Good
Milk Does Not Do A Body Good
Kebohongan Manfaat Susu (Dr. Tan Shot Yen)
Kibulan Susu (Erikar Lebang)
Apakah Kita Memerlukan Susu (Liputan Metro TV 360, menampilkan dr. Tiwi dan dr. Tan Shot Yen)
Bahaya Susu Formula, Tolong Direnungkan


Komentar

  1. Halo pemirsa di seluruh dunia, sakit, dan
    Penyakit bukanlah hal baik yang hidup di manusia
    tubuh. Virus seperti HIV / AIDS, HEPATITIS B,
    KANKER, HSV, DIABITIS, FYBROID, SPERM RENDAH
    COUNT, STD, dan banyak penyakit lainnya di bumi.
    Jadi teman-teman saya jika Anda berhasil dengan semua ini
    penyakit, email: DR.IKHUORIA@gmail
    .com juga Whats-app Dr IKHUORIA di
    +2348104857337 semoga berhasil

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Tangki Cinta Anak

Ini adalah tulisan yang saya rangkum dari Bab 1-2 buku "Hypnotherapy for Children" karya Adi W. Gunawan, seorang ahli hipnoterapi. Penjelasan teori dalam buku tersebut banyak membukakan mata saya mengenai apa yang sebenarnya menjadi "akar permasalahan" ketika perilaku anak kita bermasalah. Ini sangat membantu saya memahami anak dan bagaimana saya harus bersikap dan memperlakukan anak. Bagi saya ini bukan hanya sekedar teori. Tidak ada yang mengatakan menjadi orang tua itu gampang, tapi tidak ada yang mustahil untuk ditangani selama kita berpikir positif. Karena itu saya pribadi selalu membaca dan membekali diri saya dengan ilmu parenting sebanyak-banyaknya, sambil tidak lupa selalu melakukan introspeksi diri dan open-minded , yaitu berusaha tidak menyangkal jika ada masalah dan mengakui jika kita melakukan kesalahan. Jika orang tua selalu dalam posisi  denial , sesungguhnya anak juga lah yang akan jadi korban, dan itu akan menjadi bumerang bagi orang tuanya se...

Cerita Setelah 4 Bulan Sekolah di Preschool HS

Tahun lalu kami sempat sangat sedih ketika mengetahui anak pertama kami, Rei (saat ini 4 tahun), ditolak masuk di sekolahnya yang sekarang. Tapi sepertinya memang Allah sudah punya rencana lain. Banyak hikmah positif yang bisa diambil dari peristiwa itu. Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, sampai berusaha membuat bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat ahli terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya. Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memberikan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah membuat keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melakukan...

Proses Lebih Penting daripada Hasil (Kaitannya dengan Pola Asuh Anak)

Pola pikir yang lebih mementingkan HASIL ketimbang PROSES sepertinya memang sudah sangat mendarah daging di masyarakat kita. Dari hal kecil yang bisa kita temui sehari-hari, sampai hal besar, semua mencerminkan kalau ‘kita’ memang lebih senang langsung menikmati hasil, tapi enggan atau malas melewati prosesnya. Ini artinya lebih banyak orang yang tidak sabar, cenderung ambil jalan pintas, dan mau gampangnya saja, yang penting hasilnya tercapai. Hasil memang penting, tapi proses untuk mencapai hasil itu lebih penting lagi. Gak percaya? Tidak usah jauh-jauh. Untuk mendapat nilai A di sekolah, banyak cara yang bisa ditempuh. Lebih baik mana, si Ali yang belajar sungguh-sungguh, atau si Mawar yang mendapat nilai atas hasil mencontek? Dua-duanya sama mendapat nilai A. Tapi proses untuk mencapai nilai A itu yang membuat si Ali jauh lebih berkualitas dibanding si Mawar. Di dunia nyata pasti akan kelihatan ketika mereka harus mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki. Memang sudah ...