Kalau lihat fotonya seperti ini sih memang adem. Tapi jangan tertipu, kenyataan tidak selalu seindah foto di media sosial.
Yang namanya kakak adik, cowok, umurnya gak terpaut jauh, tahu sendiri apa yang bakal terjadi sehari-hari. Pernah nonton Tom & Jerry kan? Nah persis.
Perkara berbagi makanan, mainan, sampai hal remeh temeh masalah siapa yang duluan atau duduk sebelah mana aja bisa jadi keributan. Apalagi anak cowok, sukanya main fisik.
Sialnya, kita sebagai ortu gak pernah diajarin gimana harus menghadapi ini semua. Gak ada kursusnya, gak ada sekolahnya. Siapin urat sabar sepanjang apapun juga sepertinya gak cukup.
Kita cuma tahu dari orang tua jaman dulu, cara efektif untuk melerai si Tom & Jerry adalah:
- Minta si kakak untuk selalu mengalah
- Selalu lindungi si adik dari gangguan si kakak
- Intervensi setiap konflik dan jadi hakim penengah
Tujuannya supaya konflik cepat selesai. Betul kan?
Padahal kasihan sekali si kakak. Kenapa dia jadi harus selalu mengalah? Padahal bukan keinginan dia ada si adik di dunia ini. Kenapa sekarang seolah dia yang harus menanggung segalanya?
Selalu intervensi konflik dan jadi hakim penengah ternyata melelahkan sekali, karena mereka jadi tergantung sekali dengan kita setiap kali ada konflik. Padahal itu bisa terjadi puluhan kali dalam sehari. Yang ada, anak-anak jadi gak belajar untuk menyelesaikan konflik sendiri, dan salah-salah kita sendiri juga kena mental.
Lalu ketika kita selalu melindungi si adik, ternyata si adik tumbuh jadi anak yang kurang peka, nirempati, atau bahkan malah terlalu sensitif, terutama terhadap kakaknya sendiri. Senggol dikit bacok. Didekatin sedikit oleh kakaknya langsung marah, ngambek cari perhatian, bahkan main fisik ke kakaknya. Karena menurut dia itu sesuatu yang boleh dia lakukan untuk melindungi diri.
Mirip dengan kalau kita minta si kakak untuk selalu mengalah dari adiknya. Lalu kapan si adik bisa belajar untuk menjadi manusia yang baik juga? Dan juga, yakin gak bakal meninggalkan luka batin ke diri si kakak karena dia jadi merasa kurang dihargai?
Kalau kita terlihat memihak dan membela salah satu? Dijamin konflik bukan cepat selesai, tapi malah berujung ada yang baper atau ngambek berkepanjangan, bahkan tantrum.
Jadi harus gimana dong?
Tentu jadi orang tua kita juga harus mau belajar dan berproses. Sabar, ini ujian.
Saya sendiri pernah menghadapi kondisi-kondisi buruk di atas dengan anak-anak saya.
Setelah sekian lama berjibaku dengan para piyik di rumah, saya menemukan bahwa cara paling efektif untuk mengatasi sibling rivalry adalah dengan memberikan mereka cukup ruang untuk berkonflik.
Jadi biarin aja mereka berantem sampai babak belur dan capek sendiri gitu?
Ya gak gitu juga sih (meskipun sekali-sekali boleh juga lah :D).
Intinya, yang Pertama, jangan memandang konflik antar anak adalah sesuatu yang negatif. Yang namanya manusia hidup satu atap, adalah hal yang wajar jika sedikit banyak terjadi konflik. Jangankan anak-anak, manusia dewasa pun begitu. Itu hal yang natural dan biasa-biasa aja. Konflik antar anak justru adalah sarana dan kesempatan bagi mereka untuk berkembang secara sosial dan emosional, di mana mereka bisa belajar menyelesaikan masalah, menghadapi perbedaan pendapat, meregulasi emosi, bersikap, dan banyak lagi. Karena itu, janganlah kita renggut kesempatan itu dengan buru-buru melakukan intervensi.
Kedua, usahakan jadi pihak yang netral senetral-netralnya. Janganlah jadi hakim yang mengambil keputusan dan menunjuk siapa yang salah dan benar, tapi cukup jadi moderator saja.
Jadi kalau lihat mereka lagi rebutan mainan, rebutan tempat duduk, ngotot-ngototan, dulu-duluan, biarin aja dulu, kasih mereka kesempatan, jangan buru-buru dilerai, dipisah, atau dikasih solusi. Percaya deh, seringnya ketika kita kasih mereka kesempatan, konflik-konflik kayak gitu malah bakal lebih cepat lewat dan selesai begitu aja secara natural, karena mereka sebetulnya belum punya tendensi dan persepsi negatif terhadap hal-hal seperti itu, gak seperti orang dewasa. Justru kadang intervensi dari orang dewasa yang maunya buru-buru menyelesaikan masalah, akhirnya mengakibatkan konflik itu berbuntut panjang, karena jadi ada satu anak (atau bahkan keduanya) yang baper, yang perasaannya diabaikan, yang merasa diperlakukan tidak adil, dsb.
Paham banget kalau anak-anak lagi rebutan, adu mulut, ribut sampai teriak-teriak itu menyebalkan sekali, dan bikin kita gak tahan. Tapi percayalah, solusinya bukan dengan intervensi yang reaktif supaya cepat beres. Karena ketika kita selesaikan dengan emosi atau amarah, makin lama kita butuh level emosi dan amarah yang lebih tinggi lagi untuk menyelesaikannya. Solusi jangka panjangnya adalah dengan memberi mereka ruang untuk berlatih dan belajar menyelesaikan konflik.
Saya sudah mengamati dan membuktikan sendiri. Saya minta orang-orang di rumah menerapkan prinsip di atas, termasuk oleh si mbak yang membantu mengasuh anak-anak. Ketika anak-anak ada konflik, saya minta amati saja dulu, jaga jarak, beri mereka ruang, jangan langsung diintervensi, bahkan dengan komentar sekecil apapun. Biarkan konflik itu menjadi masalah mereka sendiri, bukan masalah kita, tapi tetap kita awasi dan jaga. Kita cukup jadi pengamat dan moderator yang netral yang siap membantu semuanya. Hasilnya, ada penurunan frekuensi keributan yang cukup signifikan antara dua anak saya yang kecil. Bahkan ketika berkonflik, mereka sudah mulai bisa menyelesaikan masalah sendiri, misal dengan bersuit dan berkompromi. Senangnya lagi, mereka juga jadi lebih akrab, bisa lebih banyak bermain, bercanda, tertawa bersama, tidak seperti sebelumnya. Hari-hari jadi jauh lebih menyenangkan buat semua.
Tentu memang masih ada hari-hari di mana keributan masih terjadi, dan itu normal saja, karena sulit memang mengharapkan hal yang konsisten di umur mereka (bahkan di orang dewasa sekalipun). Yang terpenting adalah mereka sudah menunjukkan progres yang positif.
Lalu apakah berarti kita tidak boleh melakukan intervensi sama sekali? Tentu boleh, dan kadang intervensi tetap diperlukan, yaitu kalau konflik semakin meruncing atau potensi mereka saling pukul atau melukai. Ketika ini terjadi, hal pertama yang harus kita lakukan adalah hampiri mereka, dan kita harus tetap kalem dan tenang, jangan terpengaruh oleh emosi mereka. Untuk hal ini, saya belajar dari metode yang diajarkan di sekolah anak saya tentang problem solving. Antara lain hampiri dengan tenang, lalu tanya, acknowledge feeling mereka, lalu tanya solusinya apa. Intinya, kita tetap jadi moderator, bukan hakim, dan solusinya harus datang dari mereka sendiri, bukan kita yang menentukan. Satu hal, jangan pernah meneriaki mereka atau menghampiri sambil berteriak, karena itu justru akan lebih men-trigger emosi mereka (dan kita sendiri).
Kadang memang gak gampang, tapi gak gampang bukan berarti gak bisa. Seringnya malah hanya butuh ketenangan dari kita sebagai sosok dewasa.
Masalah Berbagi (Sharing)
Oh iya, satu hal yang sering memicu konflik dan keributan antar anak adalah masalah berbagi, entah itu berbagi makanan, mainan, atau hal lainnya. Pasti bikin kita kesel dan senewen.
Solusinya, selalu pastikan semua anak dapat jatah yang sama, beli segala sesuatu selalu dobel-dobel agar sama rata dan adil. Begitu kan?
Tentu tidak saudara-saudara!
Percayalah, biarpun kita sudah membeli dobel-dobel, itu tidak akan menyelesaikan masalah, dan justru tidak melatih dan mendidik anak untuk berbagi.
Tapi, berbanding terbalik dengan kepercayaan umum yang menganggap anak harus dilatih untuk berbagi, saya cenderung berusaha melatih anak untuk menghormati milik orang lain. Karena ternyata anak akan dengan sendirinya mau berbagi kalau merasa hak miliknya biasa dihargai.
Karena itu, ketimbang mengajari si kakak harus mau berbagi ke adiknya, atau sebaliknya, saya lebih cenderung mengajari anak untuk meminta dulu dengan baik-baik jika ingin sesuatu dari orang lain, meskipun itu adalah milik kakak atau adiknya sendiri.
Hanya karena sesuatu itu milik si kakak, bukan berarti si adik berhak mengambilnya begitu saja, dan sebaliknya. Saya mengajari anak-anak untuk selalu bertanya dulu, dan si pemilik berhak untuk tidak memberikannya. Dengan demikian anak juga akan merasa aman jika dia memiliki sesuatu, dia punya hak penuh untuk mengontrol miliknya itu.
Sebagai orang tua, kita juga jangan memaksa ketika kita meminta sesuatu dari anak, hanya karena kita adalah orang tuanya. Tidak perlu juga lantas menasehati anak bahwa dia harus mau berbagi dan gak boleh pelit. Justru berbahaya jika kita mendidik anak untuk harus selalu mau membagi barang miliknya, karena dia akan tumbuh menjadi orang yang "tidak enakan" dan akhirnya tidak bisa menjaga hak miliknya sendiri. Dengan demikian juga secara tidak langsung kita mengajarkan anak untuk menghargai orang lain dengan memberi contoh kita menghargai barang miliknya.
Anak yang haknya dihargai, akan mau berbagi. Anak yang terus dipaksa berbagi, justru bisa tumbuh jadi orang yang tidak bisa menjaga haknya sendiri.
Hasilnya? Sejauh ini, anak-anak justru relatif mau secara sukarela untuk berbagi, dan ini sangat meminimalisir potensi konflik, karena anak-anak sudah terbiasa untuk menghargai hak milik satu sama lain. Lucunya bahkan ketika mereka membeli atau mendapatkan sesuatu, mereka sering ingat bahwa ada kakak atau adiknya yang perlu diberi juga, sehingga biasanya mereka akan mengambil lebih supaya bisa dibagi ke kakak atau adiknya.
Demikian, agar ini juga menjadi catatan saya pribadi dalam menjadi orang tua.
Komentar
Posting Komentar