Konsep pola asuh yang tidak pernah memarahi dan tidak pernah berkata "jangan" kepada anak sepertinya memang masih dianggap sesuatu yang aneh dan tidak biasa. Beberapa kali saya mendapat respon yang tidak terduga ketika saya mengungkapkannya kepada orang lain. Padahal menurut saya ini pola asuh yang masuk akal, ilmiah, positif, dan sesuai fitrah anak-anak.
Pernah suatu hari saya menceritakan hal ini kepada teman sekantor, yang kebetulan juga punya anak laki-laki seumuran anak saya. Reaksi dia adalah, "Ah, itu mah anak kamu saja yang memang dari sananya penurut."
Di lain waktu teman saya lainnya malah bilang bahwa cara ini adalah cara didik dari barat dan tidak sesuai dengan ajaran agama. Hmm oke (tarik nafas dulu sebentar).
Perlu saya klarifikasi, dengan pola asuh ini bukan berarti saya menjadi orang tua yang permisif dan membiarkan anak melakukan apa saja yang dia mau. Juga bukan berarti saya mendidik anak saya menjadi liberal dan bebas sebebas-bebasnya. Sama sekali bukan. Apakah tidak pernah berkata "jangan" itu yang kemudian disalahpersepsikan sebagai kebebasan ajaran barat yang bertentangan dengan ajaran agama? Saya tidak tahu. Yang jelas, saya tetap mengontrol, mengarahkan, dan memberi batasan pada anak saya, hanya saja bukan dengan marah dan melarang, tapi dengan cara-cara yang positif dan kreatif.
Mengapa tidak pernah berkata "jangan"? Perlu disadari, anak kecil punya resistensi yang sangat tinggi terhadap kata "jangan", "tidak", "tidak boleh" atau sejenisnya. Sebagian anak akan langsung menunjukkan perlawanannya (seperti anak saya :)), sebagian lagi mungkin langsung menangis, dan sebagian lagi mungkin menurut tapi dengan wajah yang tertekan dan seolah kepercayaan dirinya luntur. Kebanyakan anak lainnya akan mengabaikan begitu saja kata "jangan". Ini sebetulnya ada penjelasannya secara ilmiah sesuai ilmu psikologi. Saya pernah menuliskannya dalam tulisan Hypno-parenting, Apakah Itu?. Ini bukan hanya omong kosong belaka, karena saya sudah membuktikannya ke anak saya sendiri.
Lalu mengapa tidak pernah marah? Banyak referensinya bahwa marah punya banyak efek buruk kepada anak. Belum lagi marah cenderung memicu reaksi negatif dari anak. Saya juga pernah menuliskannya dalam tulisan INI. Marah adalah cara paling tidak kreatif dalam mendidik anak.
Kalau begitu, apa yang saya lakukan ke anak? Pada dasarnya yang saya lakukan adalah fokus pada apa yang seharusnya dilakukan anak, bukan apa yang tidak boleh dilakukan anak. Itu juga disampaikan dengan lembut, namun tetap berwibawa. Pada intinya sebetulnya saya juga melakukan pelarangan ini dan itu, tapi dengan bahasa yang sedemikian rupa.
Contohnya, kalau ingin melarang anak berlari, maka yang saya katakan adalah "Jalan saja ya". Nanti kalau anak sudah besar, untuk mengingatkan anak beribaah mungkin saya tidak akan mengatakan "Jangan lupa sholat," tapi saya akan katakan "Ingat sholat tepat waktu ya".
Silakan dinilai apakah ada hal yang bertentangan dengan agama. Saya sudah membuktikannya sendiri bahwa pola asuh ini lebih efektif, dan punya efek yang positif untuk anak.
Mengenai anak penurut atau tidak, saya termasuk orang yang percaya bahwa semua anak terlahir baik, dan tidak ada anak yang terlahir "nakal", yang ada adalah anak belum mengerti. Mengapa orang justru tega menimpakan kesalahan pada anak dengan mencapnya tidak penurut, padahal terbentuknya perilaku anak sangat tergantung dari pola asuh yang dia dapat. Seharusnya yang dilakukan orang tua adalah introspeksi diri apakah selama ini telah menjalankan pola asuh dan melakukan komunikasi yang benar dengan anak, bukannya menyalahkan anak.
Memang pola asuh ini tidak mudah, karena kebanyakan orang hanya tahu dan sudah sedemikian terbiasa dengan pola asuh jaman dulu yang serba melarang dan memarahi anak. Pola asuh ini juga membutuhkan tekad dan usaha membangun hubungan baik dengan anak secara konsisten dan berkesinambungan. Jangan harap segala sesuatu akan berubah dalam semalam. Semuanya perlu dibangun sejak dini dan butuh waktu. Konsistensi, sabar, dan berusaha kreatif adalah kuncinya. Tapi pada akhirnya anak akan mengerti dan menurut.
Baca juga: Menjaga Hubungan Baik dengan Anak
Pernah suatu hari saya menceritakan hal ini kepada teman sekantor, yang kebetulan juga punya anak laki-laki seumuran anak saya. Reaksi dia adalah, "Ah, itu mah anak kamu saja yang memang dari sananya penurut."
Di lain waktu teman saya lainnya malah bilang bahwa cara ini adalah cara didik dari barat dan tidak sesuai dengan ajaran agama. Hmm oke (tarik nafas dulu sebentar).
Perlu saya klarifikasi, dengan pola asuh ini bukan berarti saya menjadi orang tua yang permisif dan membiarkan anak melakukan apa saja yang dia mau. Juga bukan berarti saya mendidik anak saya menjadi liberal dan bebas sebebas-bebasnya. Sama sekali bukan. Apakah tidak pernah berkata "jangan" itu yang kemudian disalahpersepsikan sebagai kebebasan ajaran barat yang bertentangan dengan ajaran agama? Saya tidak tahu. Yang jelas, saya tetap mengontrol, mengarahkan, dan memberi batasan pada anak saya, hanya saja bukan dengan marah dan melarang, tapi dengan cara-cara yang positif dan kreatif.
Mengapa tidak pernah berkata "jangan"? Perlu disadari, anak kecil punya resistensi yang sangat tinggi terhadap kata "jangan", "tidak", "tidak boleh" atau sejenisnya. Sebagian anak akan langsung menunjukkan perlawanannya (seperti anak saya :)), sebagian lagi mungkin langsung menangis, dan sebagian lagi mungkin menurut tapi dengan wajah yang tertekan dan seolah kepercayaan dirinya luntur. Kebanyakan anak lainnya akan mengabaikan begitu saja kata "jangan". Ini sebetulnya ada penjelasannya secara ilmiah sesuai ilmu psikologi. Saya pernah menuliskannya dalam tulisan Hypno-parenting, Apakah Itu?. Ini bukan hanya omong kosong belaka, karena saya sudah membuktikannya ke anak saya sendiri.
Lalu mengapa tidak pernah marah? Banyak referensinya bahwa marah punya banyak efek buruk kepada anak. Belum lagi marah cenderung memicu reaksi negatif dari anak. Saya juga pernah menuliskannya dalam tulisan INI. Marah adalah cara paling tidak kreatif dalam mendidik anak.
Kalau begitu, apa yang saya lakukan ke anak? Pada dasarnya yang saya lakukan adalah fokus pada apa yang seharusnya dilakukan anak, bukan apa yang tidak boleh dilakukan anak. Itu juga disampaikan dengan lembut, namun tetap berwibawa. Pada intinya sebetulnya saya juga melakukan pelarangan ini dan itu, tapi dengan bahasa yang sedemikian rupa.
Contohnya, kalau ingin melarang anak berlari, maka yang saya katakan adalah "Jalan saja ya". Nanti kalau anak sudah besar, untuk mengingatkan anak beribaah mungkin saya tidak akan mengatakan "Jangan lupa sholat," tapi saya akan katakan "Ingat sholat tepat waktu ya".
Silakan dinilai apakah ada hal yang bertentangan dengan agama. Saya sudah membuktikannya sendiri bahwa pola asuh ini lebih efektif, dan punya efek yang positif untuk anak.
Mengenai anak penurut atau tidak, saya termasuk orang yang percaya bahwa semua anak terlahir baik, dan tidak ada anak yang terlahir "nakal", yang ada adalah anak belum mengerti. Mengapa orang justru tega menimpakan kesalahan pada anak dengan mencapnya tidak penurut, padahal terbentuknya perilaku anak sangat tergantung dari pola asuh yang dia dapat. Seharusnya yang dilakukan orang tua adalah introspeksi diri apakah selama ini telah menjalankan pola asuh dan melakukan komunikasi yang benar dengan anak, bukannya menyalahkan anak.
Memang pola asuh ini tidak mudah, karena kebanyakan orang hanya tahu dan sudah sedemikian terbiasa dengan pola asuh jaman dulu yang serba melarang dan memarahi anak. Pola asuh ini juga membutuhkan tekad dan usaha membangun hubungan baik dengan anak secara konsisten dan berkesinambungan. Jangan harap segala sesuatu akan berubah dalam semalam. Semuanya perlu dibangun sejak dini dan butuh waktu. Konsistensi, sabar, dan berusaha kreatif adalah kuncinya. Tapi pada akhirnya anak akan mengerti dan menurut.
Baca juga: Menjaga Hubungan Baik dengan Anak
Komentar
Posting Komentar